Rekaman 014

17 3 0
                                    

Cilandak, 15 Agustus 1968, Pukul 17:26

-----


Gandaria

Pak Setjadi.


Hamba

Saya sudah mengira Bapak pasti di sini.


[Hening selama dua menit tiga belas detik]


Gandaria

Waktu dulu saya dikenalkan sama dia, saya ingat bagaimana dia memainkan kukunya. Dia bersihkan kuku telunjuk pakai kuku jempol, lalu sembunyi-sembunyi dia bakal gigit kuku. Kalau kau cukup teliti, kau bisa amati celah mulutnya, lalu melihat satu gigi emasnya. Bukan gigi depan, memang. Cuma keliatan kalau kau teliti. Tapi ada. Ada satu geraham emas. Cuma saya yang sadar. Bapak saya, yang mempertemukan saya dengan dia, malah tak pernah sadar. Gara-gara gigi emas itu, dia tak pernah suka unjuk gigi. Senyumnya cuma menarik bibir. Tak pernah lebih lebar. Cuma dengan saya dan anak-anak, dia bisa terpingkal-pingkal menganga. Kau sendiri sadarkah?


Hamba

Sadar, Pak.


Gandaria

Bah. Berarti dia memang kurang pandai menyembunyikan gigi emasnya.


Hamba

Atau saya yang terlalu teliti.


[Hening selama empat belas detik]


Gandaria

Waktu saya meminangnya, menyentuh tangannya, jiwa saya sama sekali tak bergetar. Rasanya jiwa dia pun redup. Senyumnya simpul, sama seperti senyum saya. Kekehnya sopan, sama seperti tawa saya. Sembari kami menyambut tamu undangan, kami senyum, ngangguk, tawa-tiwi, bagai sepasang ayam lagi joget. Malamnya, waktu saya cuma berdua sama dia, yang kami berdua lakukan malah merokok sampai pagi. Saya membual soal bapak saya yang sombong, dia membual soal bapaknya yang penjilat. Saya beri dia kretek, dia beri saya sigar. Ketimbang dapat istri, saya malah dapat teman sependeritaan.


Hamba

Teman sependeritaan.


Gandaria

Bakal ada hari-hari saat bapak saya datang dari kampung. Menghujani saya dengan pertanyaan. "Kapan kau beranak?" Saya cuma senyum, ketawa, ngangguk. Lewat dua tahun berlalu, Bapak saya tak lagi bertanya. Tapi menuntut. Kau tau apa yang saya lakukan? Saya datangi istri saya, kasih dia kretek, lalu saya ajak bicara. Lagaknya seperti Konferensi Meja Bundar! Antara seorang suami dan istri, saling timbang-menimbang, membuat tesis, menyewa pengacara, buat bahas panjang lebar apakah malam itu mereka harus kawin atau tidur. Ketika semua mertua sudah menuntut, baru saya dan dia enggan-enggan matikan lampu, buka baju, dan diam mematung di atas ranjang. Sudah seperti lukisannya Francisco Goya kami waktu itu.


Hamba

Francisco Goya?


Gandaria

Ada lah. Pelukis terkenal dia.

Dan kau tau? Sampai tengah malam, kami masih telanjang bulat. Kami tak sentuh satu sama lain. Kretek saya sampai habis, dan sigar dia tinggal dua batang.

Sembari Menunggu HambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang