Rekaman 019

12 3 0
                                    

Kemuning, 25 September 1968, Pukul 21:48

-----


[Suara pintu kayu terbuka]

[Suara pintu kayu tertutup]

[Hening selama empat belas detik]


Hamba

Madam. Did you call for me?


Seroja

Good evening, Mr. Rendra. Silakan duduk.


[Suara langkah sepatu lambat selama sebelas detik]

[Suara kursi bergeser]


Seroja

Sepertinya kamu kesulitan tidur.


Hamba

Madam tau dari mana?


Seroja

Kamu bernyanyi sedari sore hingga malam di depan umum. Lalu bernyanyi untuk wanita-wanita kesepian setelah itu sampai pagi. Tiap hari. Hingga biasanya kamu baru dapat pulang ke kamarmu sendiri pada siang hari, hanya untuk kembali beberapa jam kemudian. Bernyanyi. Nyanyian cengeng. Nyanyian sendu. All of them in English, dan terkadang satu-dua ada yang berbahasa Melayu kalau sedang tidak ada bule.

Jujur saja dalam sebulan ini, kamu adalah pekerja paling keras dibandingkan empat temanmu. Paling laku karena suara dan tampang. Kamu sadar soal itu?


Hamba

Tampangku biasa saja. I am just a farmer's boy.


Seroja

Antrean wanita kesepian tidak dapat berbohong, Rendra. Mungkin justru karena kamu anak petani, terbiasa dibakar matahari, mencangkul dan membajak, maka rupamu begitu terbentuk. Berbanggalah. Minum bersamaku.


Hamba

Madam melarangku minum anggur.


Seroja

Saya tidak bilang ini anggur.


[Suara empat tegukan]


Hamba

Teh hijau? Di gelas anggur putih?


Seroja

Sebagai makelar obat pembunuh sepi, saya harus mengatakan kepada kalian, para penjual obat pembunuh sepi, bahwa yang kalian lakukan bukan untuk ikut menikmati. Terutama kalian para penjual berkelamin lelaki.

Entah berapa banyak lelaki yang mencoba melamar, mengira pekerjaan mereka untuk memerangi ratusan wanita dengan pedang tumpul mereka sebagai pekerjaan mudah, nikmat, dan impian. Saya hanya tertawa, membiarkan mereka bekerja tanpa dibayar, dan menyaksikan satu per satu dari mereka keluar dalam rana. Saya jelas diuntungkan karena tetap mendapatkan laba, namun bahagia saya bukan dari uang yang mengalir deras. Melainkan dari wajah semrawut para lelaki hidung belang yang mengira pekerjaan mereka adalah surga.

Sembari Menunggu HambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang