Rekaman 002

51 6 0
                                    

Ciledug, 21 Agustus 1967, Pukul 08:40

-----

[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]

[Suara gesekan kerah]


Hamba

Hari ini hari Senin. Tanggal... 24 Agustus, tahun 1970. Pagi, jam 8 lewat 40 menit. Saya baru ganti baterai, buat alat yang sepertinya tidak akan pernah lepas dari balik kerah saya. Namun, justru karena itu, mungkin saya harus membiasakan diri berbicara ke diri sendiri. Toh, saya bisa anggap rekaman ini sebagai jurnal harian.


[Suara sepeda motor berlalu]

[Suara kicau burung]

[Hening selama dua menit tigabelas detik]


Hamba

Saya baru baca koran pagi ini. Ada nama saya. Korban kebakaran di Pasar Tanah Abang. Apakah kebakaran itu disengaja atau tidak, saya lebih baik tidak tau. Apakah ada korban lain selain... saya, saya tidak tau, dan tidak mau tau.


[Suara langkah kaki lebih dari satu orang mendekat]

[Suara Ahmad Sofyan dan Nur Basriah. Percakapan tidak cukup jelas untuk tertangkap alat perekam]

[Suara langkah kaki lebih dari satu orang menjauh]

[Hening selama satu menit enam detik]


Hamba

Kemarin lusa, saya mengunjungi ibu di Blora. Bertemu rumah kayu lagi, bertembok kayu, berperabot kayu, dan berlantai kayu juga. Rumah yang kalau mau wudhu, airnya harus diambil dari sumur. Lama sekali saya tidak wudhu pakai air sumur. Rasanya pun juga sama soal ibu. Lama rasanya tidak bertemu. Padahal mungkin cuma dua kali lebaran lamanya. Dan, kebakaran hari lalu... saya tidak bisa lagi ketemu ibu.


[Hening selama dua puluh delapan detik]


Hamba

Ternyata aneh, ya, bicara sendiri begini. Bagaimana kalau kamu saya beri nama? Alat kecil, tersembunyi, butuh ganti baterai sehari sekali. Mirip kucing. Kecil, suka sembunyi, harus dikasih makan setidaknya sekali sehari. Bagaimana kalau kamu saya namakan Molly saja? Biar saya ada teman berbicara. Toh, Pak Maut tidak melarang.

Baiklah, Molly. Itu namamu sekarang.

Sedari aku kecil, Molly, ibu selalu berisik. Tiap bapak meladang, ibu selalu cari teman mengobrol. Kalau tidak dengan tetangga, ya dengan petani yang sedang meladang. Kalau tidak dengan ibu-ibu di pasar, ya dengan aku yang cebok saja masih belum bisa sendiri. Bapak pulang meladang, ketimbang istirahat, malah dihujani kata dan kalimat dari mulut ibu. Dulu rasanya menyebalkan, tapi kini... itu yang kurindukan.

Saat tiga kakakku mengikuti jejak bapak, ibu melarang bapak menjadikanku petani keempat. Kata ibu, aku harus jadi perantau. Mungkin jadi seorang saudagar atau kerja di perbankan. Tapi kata ibu juga, aku terlalu lembut suaranya untuk pekerjaan seperti itu. Mungkin jadi penyanyi atau guru, katanya. Hingga akhirnya, ibu melihatku bertengkar dengan kakak kedua. Lalu kemudian, dengan suara girang, sembari mengobati kakakku yang babak belur, ibu bilang aku cocok jadi tentara.

Ketika aku masuk sekolah tentara, Molly, aku jadi jarang melihat ibu. Dulunya tiap hari, lalu tiba-tiba hanya setahun sekali. Jengkol yang dulu baunya aku keluhkan, perlahan jadi makanan yang kurindukan. Rumah kayu yang mungil itu, perlahan menjadi bayangan tiap malam agar aku nyaman tidur seperti sarden di sudut barak. Suara ibu yang tidak berakhir dari bangun hingga tidur, perlahan jadi terdengar pada tiap sunyi. Dan tiap kali aku bisa bertemu ibu, kicauannya yang menulikan kakak-kakakku, kudengarkan bagai nyanyian merdu.


[Hening selama tiga menit tujuh detik]

[Suara hidung menarik ingus]


Hamba

Molly... aku harus berdamai. Berdamai dengan takdir. Dengan nasib. Kicauan bising itu akan jadi tangis. Hingga habis air mata, lalu menjadi sunyi. Sunyi seperti menunggu sesuatu. Sunyi seperti mengingat sesuatu. Tiga putra lain tak akan bisa mengganti putra bungsunya. Dan aku harus berdamai, karena aku hadir. Aku hadir menyaksikan ketidakhadiranku di hidup ibu. Ibu, yang jengkolnya takkan pernah kumakan lagi. Ibu, yang dapurnya takkan pernah kutapaki lagi. Ibu, yang senyumnya takkan pernah karenaku lagi. Ibu, yang tangisnya akan selalu karenaku.

Aku harus berdamai. Aku harus berdamai. Aku harus berdamai. Aku harus berdamai. Molly, aku harus berdamai. Bantu aku untuk berdamai, Molly. Bantu aku.


[]

Sembari Menunggu HambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang