Rekaman 012

16 4 0
                                    

Sawahan, 2 September 1967, Pukul 10:58

-----


[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]

[Suara gesekan kerah]


Hamba

Molly, kamu mau dengar ceritaku?

Rasanya sudah agak lama kamu aku biarkan. Kamu cuma jadi pendengar. Jadi kupingnya Romo, dan mungkin Pak Maut juga. Setelah kemarin kamu ketahuan sama Pak Gandaria, aku jadi takut. Aku harus lebih becus lagi menjagamu.

Ada hal yang agak aneh, tadi pagi, setelah makan bubur bersama Pak Gandaria. Ketika aku ke warung, bertemu dengan bocah Bernama Trisna, bocah itu bergidik waktu aku bilang suratnya datang dari Pak Gandaria. Lebih bergidik lagi ketika aku bilang bahwa suratnya itu untuk [NAMA DIREDAKSI].

Tapi yang aneh bukan si Trisna, Molly. Yang aneh itu adalah suratnya. Kenapa di warung itu, bukan di pos surat? Kenapa harus diterima oleh Trisna, dan bukan orang lain? Memang siapa si [NAMA DIREDAKSI], sehingga harus serahasia itu? Jika Pak Maut dan Romo mendengar, mungkin mereka tau siapa dia.

Namun, Molly, semakin ke sini aku semakin memikirkan Pak Gandaria. Ceritanya, isi kepalanya, dan kisah romansa tragisnya dengan Rhea. Aku belum bisa tidur karena itu semua. Mungkin ke depannya, tidur akan menjadi orang asing bagiku. Padahal, tidur dulu merupakan kekasihku.


[Suara rokok dimatikan]

[Suara rokok dilinting]

[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]


Hamba

Kenapa harus Pak Gandaria? Kenapa bukan orang lain? Yang memang benar orang jahat. Yang memang benar harus diberantas dari negeri ini. Jangan-jangan, semua orang jahat di bumi pertiwi ini sebenarnya seperti Pak Gandaria. Bukan orang yang dibisiki setan, tetapi dikelilingi setan yang membuatnya bertingkah laku seperti setan? Kalau begitu, bagaimana aku bisa tenang mendengar si anu dan si ono akhirnya dipenjara karena kasus korupsi? Bagaimana aku bisa melupakan anak-istri para koruptor yang mungkin menangis berduka?

Aku jadi teringat. Waktu itu aku sempat bercerita ke Pak Maut, bahwa aku pernah membunuh. Seorang petani, beranak enam, yang gubuknya dipenuhi pernak-pernik para pengkhianat.


[Hening selama dua puluh lima detik]


Hamba

Aku tau namanya. Namanya Pak Godjali. Dengan "DJ" ketimbang "Z". Waktu kecil, aku suka keluyuran sampai ke kebun cabenya. Malah, sempat aku dimarahi sama Pak Godjali gara-gara aku sama anak tetangga lomba tahan-tahanan pedas dengan menjarah cabe-cabenya. Tapi toh, ketika akhirnya panen, Pak Godjali justru memberi kami satu bungkus penuh cabe. "Biar kalian nggak comot cabeku lagi", katanya. Aku masih tersenyum mengingat itu.

Lalu, taun lalu terjadi. Setelah lama merantau, aku kembali pulang kampung. Bukan sebagai anak petani lagi, namun sebagai kesatria pemberantas pengkhianat.


[Suara rokok dimatikan]

[Suara rokok dilinting]

[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]

[Hening selama tiga puluh dua detik]


Hamba

Satu kampung dijarah olehku dan kelompokku. Tiap kali kami menemukan bendera, baju, atau bros pengkhianat, gubuk para petani itu kami bakar, dan penghuninya kami berantas. Salah satunya adalah Pak Godjali. Malangnya lagi, para petani lain sudah sempat dengar bisik-bisik kedatangan kami. Akhirnya yang mati adalah para laki-laki. Anak-istri semua sudah lari dari kampung, entah ke mana. Kecuali keluarga Pak Godjali. Mereka percaya kalau petani tidak bakal dilibatkan dalam gejolak politik. Petani cuma tau padi.

Kalau saja Pak Godjali ikut siasat petani lain, mungkin keluarganya akan selamat. Mungkin mayat istrinya tidak bakal diperkosa. Mungkin hanya kepalanya saja yang bakal diarak-arak keliling kampung di atas bambu runcing. Bukan kepala istri dan enam anaknya.


[Hening selama satu menit tiga detik]

[Suara rokok dimatikan]

[Suara rokok dilinting]

[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]


Hamba

Kadang cerita lomba tahan pedas itu teringat lagi, bersamaan dengan wajah masam Pak Godjali ketika menangkap kami. Bersamaan dengan wajah sumringahnya, ketika kami kegirangan menerima sekantung cabe darinya.

Kadang, yang aku ingat, adalah wajahnya di atas bambu runcing. Wajah dan teriakan istrinya, saat tubuh Pak Godjali dilubangi peluru. Wajah dan tangis anak-anaknya, ketika melihat mayat ibu mereka dilucuti dan digunakan. Wajah-wajah keluarga Pak Godjali... di atas bambu runcing.

Entah bagaimana caranya, wajah-wajah itu perlahan berubah menjadi wajah Pak Gandaria. Wajahnya, jika tahun lalu ia gagal bersembunyi.

Apakah aku orang baik, Molly? Apakah aku berada di jalan yang benar? Semoga.

Sayangnya, di tempat seperti ini, aku tidak berani sembahyang. Meski Romo mengatakan bahwa Tuhan ada bahkan di dalam tempat seperti ini, rasanya tetap seperti anak durhaka untuk berbicara dengan-Nya di tempat ini.


[]

Sembari Menunggu HambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang