BAB 27 - PERSOALAN

219 34 1
                                    

Setelah mendengar penjelasan dari Vio mengenai surat yang rutin tiap minggu Keenan baca. Seketika raut wajah Keenan sedikit mengerut. Bukan karena ia tidak suka dengan isi surat itu ataupun dengan Vio, melainkan, mengapa surat itu bukan dari seseorang yang sudah lama Keenan kagumi?

Keenan kira, surat-surat penyemangat itu datangnya dari Satzy. Namun, surat yang ada di bab-bab pertama cerita ini penulisnya adalah Vio, sahabat Keenan dulu.

Ah, mengapa Keenan se-percaya diri ini? Mana mungkin sih Satzy rela menulis surat itu tiap minggu untuk Keenan? Gadis cuek nan tomboy itu gengsinya gede! keluh Keenan.

Vio menatap Keenan lagi. Ia tahu kalau sahabatnya itu sedang memikirkan banyak persoalan. Tangan Vio meraih pergelangan tangan milik Keenan. Ia tempelkan ke dada Keenan seraya berkata,

"Jantung kamu masih berdetak, hidup ini belum berakhir. Selama jantung dan nafas ini masih berfungsi kamu baik-baik aja, Nan. Kanker otak itu cuma penyakit, tapi hidup itu sudah ada yang ngatur. Gak peduli kamu kanker otak stadium berapapun, divonis hidup cuma sekian hari, atau bahkan yang lebih menyakitkannya gak ada harapan sembuh, itu semua bohong kalau kamu percaya bahwa Tuhan itu punya keajaiban yang dapat menyembuhkan siapapun. Termasuk kamu, Keenan."

"Jadi, selagi bisa disembuhkan mengapa lebih memilih sakit, Nan?"

Deg!

Bagai disambar petir di siang bolong. Perkataan gadis itu lagi-lagi mampu memojokkan Keenan sampai tak berkutik sepatah katapun!

"Gue pengen sembuh. Gue pengen sehat kembali layaknya orang-orang normal juga. Tapi gue kadang capek sama penyakit gue!"

Kali pertama Keenan memanggil dirinya dengan sebutan Gue-Lo. Tentu itu terdengar asing di telinga Vio. Namun, gadis itu paham betul mengapa Keenan sampai berkata seperti itu.

"Gue beneran capek! Gue berusaha buat nutupin itu semua, karena gue pengen di pandang sebagai orang yang sehat tanpa penyakit apapun. Gue gak mau di pandang sebagai orang yang lemah, sakit-sakitan, enggak!"

"Gue berusaha buat nerima apapun takdir Tuhan. Meskipun kadang gue mikir, kenapa Tuhan gak adil? Kenapa harus gue yang dikasih penyakit ini? Kenapa gue gak bisa kayak orang-orang di luar sana yang sehat?"

"Salah banget kalo lo mikir gue ini gak mau sembuh!" Raut wajah Keenan memerah, menampilkan emosi yang sedang ia pendam sendiri.

"Gak! Aku gak mikir kamu gak mau sembuh, Nan. Tapi kemoterapi ini salah satu kewajiban kamu supaya mempermudah jalan kamu untuk sembuh!" celak Vio.

Keenan sudah tak tahan berlama-lama membahas perihak penyakitnya. Semakin lama, ia semakin membenci hak itu.

"Gue pergi dulu." ujarnya langsung meninggalkan Vio yang masih bertanya-tanya.

Ya, kenyataannya. Keenan tetap harus menerima apapun yang Tuhan takdirkan.

dan tetap pada akhirnya keputusan untuk kemoterapi ada di tangan Keenan. Orang lain tidak bisa memaksa kehendaknya, termasuk orang tuanya yang sangat ingin Keenan menjalani kemoterapi. Nyatanya, Keenan lebih memilih untuk pasrah pada keadaan. Hati dan perasaannya dibaluti oleh rasa sakit yang harus ia terima, termasuk menerima takdir.

Bahkan bunda tercintanya pun sampai memohon dengan tangisan agar Keenan mau menjalani kemoterapi sekali lagi, ia tetap menolak keras.

Namun, ada satu hal yang harus Keenan selesaikan.

Dengan wajah pucatnya, ia buru-buru keluar dari kamarnya dan bergegas masuk ke mobil hitam sport miliknya. Tanpa basa-basi, ia melajukannya dengan kecepatan kencang.

KEENAN & MONOKROMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang