_______
Sudah seminggu berlalu setelah pernikahan ibunya. Dan sudah selama itu mereka menempati rumah bak istana yang sering di sebut Mansion.
Hari ini para pelayan cukup sibuk karena nyonya besar Abraham akan datang ke mansion. Azura duduk di sofa sambil menikmati tontonannya dengan ditemani cemilan kripik. Sedangkan Zero, entah kemana anak itu. Tapi Azura sudah ingatkan bahwa nanti malam akan ada acara.
Setelah bosan dengan apa yang di nontonnya, Azura beranjak ke kamarnya. Kamar yang luas hampir sama dengan luas ruang tamu rumahnya yang sebelumnya. Sebelumnya, arsitektur kamar itu sangatlah mewah, tapi karena Azura sangat tak menyukai dengan alasan, "Aku tak terbiasa dengan hiasan-hiasan mewah seperti ini."
Dan setelahnya diganti dengan lebih simpel dengan warna abu-abu dan biru. Benda-benda kamarnya juga digantikan, sehingga kamar yang ditempati Azura terlihat sangat luas.
Azura merebahkan tubuhnya di ranjang king sizenya, menutup matanya dengan lengan seraya menghembuskan nafasnya lelah.
"Oke, baiklah. Mari kita mulai misinya," gumam Azura.
____
Kini Azura berdiri di depan mansion mewah yang masih berdiri kokoh walaupun sudah tak dihuni. Mansion itu adalah rumah pertamanya.
Dia menguatkan dirinya sebelum mendorong gerbang dan masuk ke dalam. Hal pertama yang dilihat Azura dalam bangunan itu adalah, barang-barang masih sama, sama seperti tiga tahun lalu sebelum pindah ke rumah mereka yang lebih mini malis.
Tujuan pertamanya datang ke sini adalah ruang kerja papanya. Dia akan mencari bukti di sana, karena mungkin saja barang-barang sang papa belum dipindahkan.
Dalam ruang kerja sang papa, barang-barang di sana masih tertera dengan rapi walau pun ada debu di atasnya. Dia berjalan kearah komputer dan duduk di kursi kebesaran papanya.
Dia berharap komputer itu masih menyala karena sudah sangat lama tak terpakai. Dan dengan bersyukurnya gadis itu ternyata komputer itu masih menyala.
Azura menyerit, komputer papahnya memiliki password. Dia mengetik sesuatu di sana. Bukan, bukan tanggal lahir papanya, bukan tanggal pernikahan, bukan tanggal lahir sang mama. Azura berpikir keras, dan akhirnya mengetik tanggal kelahirannya dan Zero.
Azura berbinar, benar. Password komputer itu adalah tanggal lahir mereka berdua. Gadis itu mengotak atik komputer milik papanya, tapi belum juga ada yang didapatnya.
Ting!
Satu pesan E-mile muncul di layar komputer itu. Dengan penasaran dibukanya, di sana tertera nama sebuah marga keluarga terpampang yang mengirim pesan tersebut.
Ditariknya mousse ke atas dan menampilkan pesan-pesan sebelumnya. Azura menatap datar sebuah pesan yang bertuliskan sebuah ancaman yang akan membunuh papah. Dan setelah kematian sang papah, pesan itu dikirim lagi dengan tawaan.
Disana Azura tersenyum miring, ternyata marga sialan ini yang membunuh papanya? Tenang saja, dia akan memusnahkan keluarga itu walaupun orang yang tak bersalah sekalipun. Dan setelahnya misinya selesai, dia akan mencari pangerannya dan kembali bersama.
"Hey Pangeranku, di mana kau saat ini?" gumam Azura sebelum beranjak dari sana.
____
Malam tiba, entah kenapa Azura sangat gugup malam. Apa karena akan bertemu nyonya Abraham? Atau gugup karena takut ketahuan kalau dia yang membunuh anak keduanya? Ah, tapi itu sungguh tak mungkin. Dia terlalu sulit untuk dikatakan seorang pebunuh untuk seorang yang sering ke toko buku.
Di ruang keluarga sudah ada daddy, mamanya, Zero, dan juga dirinya. Asik berbincang menunggu kedatangan nyonya besar.
Tak tok tak tok...
Suara heels menggema di ruangan itu dan itu membuat senyum Azura mengembang. Di sana terlihat seorang wanita paru bayah dengan diikuti beberapa bodyguard di belakanya, berjalan kearah mereka.
"Selamat datang Ibu," sapa Leonardo dan Alasya pada Nyonya Lenia. nyonya besar keluarga Abraham.
"Selamat datang Nenek," sapa Azura dan Zero bersamaan, dan mendapat tatapan dari wanita itu.
Wanita itu langsung duduk di sofa singel, mengibaskan tangannya menyuruh para bodyguard nya pergi dari sana. Leonardo, Alasya, Azura, dan Zero duduk kembali.
"Apa mereka anak tirimu, Leo?" tanya Lenia dan seperti menatap remeh Azura dan Zero.
Itu membuat Zero berdecak dalam hati, 'Sombong sekali nenek tua ini.'
"Iya Ibu, mereka anak-anak ku," jawab Leonardo mantap.
Lenia menatap Azura dan Zero bergantian, lalu kembali menatap anaknya. "Aku mau cucuku yang terlahir dari darahmu dan menjadi penerus perusahaan Abraham," ujar Lenia.
Azura mengumpat dalam hati, dia benci ini. Harga diri mamanya seperti direndahkan, kala menghina dirinya dan Zero seperti ini. Haruskah dia memberikan bukti busuk anak yang dibanggakannya itu?
Azura meremas dresnya karena memahan emosi, apalagi perkataan wanita tua itu kepada kakaknya.
"Dan berikan aku cucu laki-laki, Aku tak mau nanti anak tirimu yang menjadi penerus perusahaan karena dirinya yang terlihat seperti laki-laki berandal." Tekan Lenia dengan kata berandal.
"Ibu, kau tak boleh seperti itu. Mereka adalah keluargaku, cucu-cucumu sekarang," kata Leonardo mencoba melembutkan suaranya.
Alasya tau, dia tau kalau dirinya tak disukai oleh nyonya besar. Tapi perasaannya tak bisa dibohongi kalau dia mencintai Leonardo dan tak bisa melepas apalagi jauh darinya. Dia tidak bisa! Maka dari itu dia berjuang untuk mendapatkan hati sang mertua hingga saat ini.
"Apa kau bisa memberikanku cucu laki-laki?"
Alasya yang tadinya menunduk mengangkat kepalanya seraya tersenyum manis. "Ya. Saya bisa memberikan Ibu seorang cucu laki-laki," jawab mantap Alasya.
Azura menggeram tertahan karena Zero yang menggenggam tangannya kuat. Dia terkejut melihat Zero yang terlihat sangat emosi, dia tersenyum menenangkan seraya mengusap lembut tangan kakaknya.
"Tenanglah," bisik Azura pelan. "Apa kau tau? Aku sudah menemukan siapa yang membunuh Papa saat itu," lanjutnya dengan kekehan di akhir kalimat.
Zero menatapnya kaget, dirinya meminta penjelasan dari adiknya tapi Azura malah menampilkan senyum manisnya.
______
Jangan lupa vote (σ≧▽≦)σ
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Girl
ActionZaliana Azura Raymond. Sedikit kisah tentangnya. Masa lalunya, Masa depannya, dan Balas dendamnya. *** 03/03/2022 19/07/2022 ***