dua puluh tiga

118 6 1
                                    

"Ternyata lo ada di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ternyata lo ada di sini." Deffan melipatkan tangan di depan dadanya.

Arsen yang masih asik dengan rokoknya itu bertanya, "Ngapain lo ke sini?"

Deffan berdecih pelan. "Setau gue kalo orang ada masalah itu diselesaikan, bukan malah lari ke tempat ini."

Arsen yang mendengar itu sontak berdiri dan menghadap Deffan yang 3 cm lebih tinggi darinya. Tangannya mengepal sampai urat-uratnya terlihat.

"Gue lagi males berantem. Jadi, kalo lo mau ribut sama gue mending besok aja."

Ia membalikkan badan untuk duduk kembali.

"Gue tadi ketemu sama Elina."

Arsen kembali menghampiri Deffan dan,

BUGH

Pukulan tiba-tiba ia arahkan ke pipi Deffan hingga membuat lelaki itu tersungkur ke samping dan menghantam meja. Arsen tak berhenti ia menarik kerah baju Deffan lalu memukulnya bertubi-tubi. Semua orang di situ terlihat bingung, termasuk Lintang dan Rendy. Mereka berusaha menahan Arsen agar tidak berbuat lebih, bisa-bisa nyawa Deffan habis malam ini juga.

Deffan berdiri sambil mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Ia memang sengaja tak melawan Arsen, ia tahu bahwa Arsen sekarang sedang butuh pelampiasan untuk amarahnya. Defdan rela menjadi korban agar Arsen bisa lebih tenang. Jadi dia bisa berbicara dengan Arsen tanpa ada emosi lagi.

Deffan mendekat pada Arsen menepuk pipi Arsen. "Udah ngamuknya?"

"Sen, inget Elina. Jangan sakitin Elina lagi. Atau lo mau liat gue yang menggantikan peran lo sebagai suami dan ayah?" bisik Deffan dengan tatapan tajam, setelah itu terkekeh saat Arsen membalas tatapannya tak kalah tajam.

"Sialan!"

Deffan tertawa renyah, "Santai gue cuma bercanda kok. Lagian yang Elina mau itu lo." Ia menepuk bahu Arsen.

"Lo tau dari mana gue ke sini?"

"Gue ngikutin lo. Tapi lo nggak sadar, pantesan Elina marah orang suaminya nggak pekaan gini."

Arsen kembali menatap Deffan tajam. "Anjing."

"Ya udah gue balik dulu mau ngobatin nih luka," ucap Deffan seraya mendesis sakit. "Lo secepatnya harus temuin Elina dan minta maaf."

"Fan, thanks and sorry." Arsen berkata lalu tersenyum tipis.

Deffan mengacungkan jempolnya lalu hilang di tengah kerumunan. Lintang masih terkejut akan hal yang ia lihat. Arsen dan Deffan ngobrol dan tadi akur. Lintang mengelus dadanya bersyukur, mungkinkah ini pertanda bahwa perang dingin antara mereka berdua akan berakhir?

~

Bu Asih dan Elina sedang duduk di depan teras melihat anak-anak panti yang sedang bermain ria. Siang ini cuaca sangat cerah, warna biru terlihat mendominasi langit daripada awan putih. Semilir angin menjatuhkan dedaunan dan juga menambah kenyamanan hari ini. Bu Asih merengkuh tubuh putrinya, mengusap punggung Elina dengan lembut.

"Ada masalah apa sama Arsen?"

Elina menatap Bu Asih lama. "Nggak ada yang serius kok, Bu. Emang Elina nggak boleh main ke sini? Elina kan juga kangen ibu dan adik-adik."

Bu Asih tertawa pelan saat Elina mengerucutkan bibirnya. Tangan wanita itu mengelus perut Elina yang terdapat kehidupan di dalamnya. Mereka kembali menikmati siang yang tenang ini. Menutup mata sambil merasakan angin yang menabrak tubuhnya lembut.

"IBU!!"

Teriakkan anak laki-laki mengangetkan mereka.

"Ada Kak Arsen," ucapnya lagi setelah sampai di depan Elina dan Bu Asih. Ia menunjuk ke arah gerbang dengan tangannya yang masih menggenggam mainan mobil-mobilan.

Elina dan Bu Asih langsung menghampiri Arsen yang sedang membagikan cemilan kepada anak-anak.

"Tenang, semua kebagian kok." Arsen tersenyum kala melihat betapa antusiasnya anak-anak panti sampai ada yang takut tak kebagian.

Setelah anak-anak mendapatkan semua ia segera menghampiri Bu Asih dan Elina. Mereka masuk lalu duduk di sofa, pintu depan sengaja Bu Asih tutup agar hanya mereka yang dapat mendengar pembicaraan ini.

Elina ke belakang membuat teh untuk suaminya. Sementara itu, di ruang tamu Bu Asih bertanya kepada Arsen.

"Kalian berdua ada masalah apa?"

Arsen menunduk menatap jarinya yang saling menautkan. Ia menarik nafas lalu menceritakan semua yang terjadi. Dimulai dari Sheila yang meminta ditemani karena sakit dan Elina yang tiba-tiba ke panti tanpa izin darinya.

Elina datang dengan membawa secangkir teh panas lalu meletakkannya di meja. Ia duduk di samping Arsen yang menatapnya dengan tatapan sendu. Bu Asih yang tak mau mengganggu segera keluar bergabung dengan anak-anak panti yang sedang bermain.

"Sayang, aku minta maaf karena waktu itu aku pergi nemenin Sheila dan ninggalin kamu sendirian di rumah." Arsen menggenggam tangan Elina erat seolah tak ingin ia pergi lagi.

"Maafin atas kebodohan aku, kamu boleh hukum aku. Tapi aku mohon, jangan pergi," pinta Arsen, yang membuat hati Elina berdesir.

"Aku nggak marah kok, cuma sedikit kecewa aja karena kamu seperhatian itu sama Sheila." Elina menatap Arsen sebelum melajutkan kalimatnya, "Aku takut kamu berpaling dan ninggalin aku. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Arsen mengembuskan nafas lega, ternyata Elina tak marah padanya. Ia merasa bahagia ternyata cinta Elina sangat besar padanya. Begitu pula dengan Arsen, rasa cintanya pada Elina tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Arsen menarik Elina ke dalam pelukannya, memberikan kehangatan dan menghujani ciuman di puncak kepalanya. Menenangkan Elina yang mulai menangis dan semakin deras.

Kedua pasang mata itu saling menatap, tatapan Arsen beralih ke bibir mungil berwarna pink itu. Sesuatu yang beberapa hari ini ia rindukan. Kemudian Arsen menempelkan bibirnya ke bibir Elina melumatnya lembut. Elina memejamkan mata seraya menikmati pergulatan bibirnya. Menciptakan malam yang indah setelah dua hari tak berjumpa

~tbc~

Saudade: Jejak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang