empat belas

288 6 4
                                    

~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~

Sinar matahari masuk melalui ventilasi udara membuat pasutri yang sedang nyenyak tidur terusik. Arsen mengedipkan matanya mencoba memfokuskan penglihatannya yang buram. Ia mengelus lembut pipi Elina yang masih tertidur pulas. Suara nafas yang teratur membuat ia tak tega membangunkan istrinya.

Arsen tak mengalihkan tatapannya dari wajah Elina. Bibirnya menyunggingkan senyum mengingat kejadian tadi malam. Suara desahan dan erangan istrinya yang pasrah di bawah kendalinya. Arsen menarik selimut untuk menutupi bagian atas tubuh istrinya lalu berniat membersihkan diri.

Arsen ke luar kamar mandi hanya balutan handuk yang menutupi bawahannya memperlihatkan dadanya yang bidang. Ia duduk di samping Elina yang sudah bangun.

"Mau mandi sendiri apa aku mandiin?" tanya Arsen seraya tersenyum menggoda.

Elina memutar bola matanya malas. Saat ia ingin berjalan ke kamar mandi area privasinya berdenyut nyeri.

Arsen menggendong Elina membawanya ke kamar mandi. "Kita mandi bareng," ucap Arsen membuat Elina mendelik, alhasil ia mandi pagi sebanyak dua kali.

~

"Sayang, dihabisin dong makanannya." ucap Arsen menatap Elina yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk makanan.

Arsen geram melihatnya, dengan cepat ia mengambil piring itu lalu menyuapi Elina.

"Makan," titah Arsen dengan nada lembut. Mengingat istrinya sedang hamil ia berusaha menjaga ucapannya agar tak menyakiti hati.

Elina membuka mulutnya menerima suapan Arsen, mengunyah dengan perlahan. Mencoba menikmati walaupun perutnya seakan menolak makanan yang masuk.

"Kenapa?" tanya Arsen sembari mengusap bibir Elina, membersihkan noda makanan yang mengotori bibir.

Elina mengelus perutnya menatap Arsen sayu. "Perutku mual," ucapnya lalu memalingkan wajahnya saat Arsen kembali menyuapi.

Arsen menghembuskan nafas pasrah, ia meletakkan sendoknya kembali. Tangannya ikut mengelus dan mengecup perut Elina.

"Anak Papah, masa Mamah nggak mau makan. Bujuk Mamah dong biar mau makan," adu Arsen pada anaknya yang masih di dalam seolah bisa mendengar.

Elina terkekeh dibuatnya ia menyisiri rambut Arsen dengan jari-jarinya. "Kata dedek bayi, Papah nyuapin Mamah harus sambil pake daster."

Mata Arsen melotot, aneh-aneh saja istrinya ini. Ia mengacak rambutnya kasar, tak ada pilihan lain hanya cara itu agar Elina mau makan. Dengan cepat ia berlari ke kamar mengganti kaus hitamnya dengan daster berwarna coklat. Terlihat sangat tidak cocok untuk tubuh kekarnya.

Selesai sarapan mereka kembali ke kamar, menonton drama korea bersama. Walaupun pada akhirnya hanya Elina yang menonton karena Arsen tidak faham padahal sudah tersedia subtitle.

Arsen mengecup kepala Elina yang masih fokus menonton di pangkuannya. "Sayang, kamu mau liburan nggak?"

Elina langsung mematikan ponselnya lali berbalik menghadap Arsen. "Aku mau!" jawabnya antusias.

Arsen terkekeh pelan, menyelipkan rambut Elina ke belakang telinga. "Oke, gimana kalo ke bali? Nanti kita nginep di deket laut," tawarnya.

Elina mengerutkan kening seperti sedang menimang tawaran suaminya itu. "Boleh, tapi kamu jangan liat bule-bule seksi! Nanti aku aduin ke Joko."

Arsen mengangkat sebelah alisnya bingung. "Joko siapa?"

"Anak kita, biar nanti gedenya ganteng kayak Joko yang di tv itu lho!" jawab Elina lalu meraih tangan suaminya untuk ikut mengelus perutnya.

Arsen menghela nafas sabar, mulutnya menganga lebar mendengar jawaban Elina. Kenapa harus Joko? Walaupun menurut istrinya Joko itu tampan, ia tetap tak rela jika anaknya nanti akan menjadi seperti Joko. Percuma gen tampan milik Arsen yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan anak.

~

"Tolong urus semuanya!" ucap Arsen lewat ponsel mahalnya. Ia meminta asistennya untuk mengurus rencana liburan ke Bali.

Arsen memandang langit yang hampir menggelap di balkon. Menyesap kopi hangat yang menemani sorenya. Matanya beralih menuju istrinya yang masih tertidur pulas.

Dengan langkah pelan, Arsen mendekati Elina. Mengendus leher perempuan itu hingga membuatnya terusik.

"Sayang, bangun dong. Mandi sana, biar nggak bau acem." Arsen menghujani pipi Elina dengan kecupan.

Elina membuka matanya perlahan menatap malas suaminya yang sedang mentoel toel pipinya. Ia bangkit sambil merenggangkan ototnya yang kebas. Tak terasa ia tidur cukup lama.

"Kamu udah mandi?" tanya Elina.

Arsen terkekeh lalu menjawab, "Udah, tapi kalo kamu mau mandi bareng sama aku nggak papa kok. Dengan senang hati, saya menerima permintaan anda."

Elina menatap tajam Arsen. Ia langsung berjalan ke kamar mandi tanpa memedulikan tawaran dari suaminya yang memintanya untuk mandi bersama. Sebenarnya bukan tawaran melainkan lebih ke pemaksaan.

Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan yang diterangi lampu-lampu. Jalanan mulai basah karena rintik hujan yang turun dari langit kian deras. Tak lama sampai di tujuan, bangunan putih dengan gerbang yang tak terlalu tinggi menyambut mereka.

Kali ini Arsen mengajak Elina untuk makan malam di panti Asuhan. Ia menggandeng tangan istrinya menuju Bu Asih yang sepertinya sudah menunggu. Mereka menyalami Bu Asih lalu dipersilakan masuk.

"Kak Arsen sama Kak Elina udah dateng!" teriak anak kecil dan langsung berlari memeluk perut Arsen.

Arsen dengan sigap menggendong bocah perempuan sambil sesekali memainkan pipinya gemas.

Mereka makan tanpa bicara, membiarkan kesunyian yang mengambil alih. Hanya ada sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah makan malam, Arsen dan Elina membantu anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak terasa malam semakin larut, hujan yang tadi mengguyur bumi kini sudah berhenti.

"Bu, kami mau pamit pulang," ucap Arsen kepada Bu Asih.

"Nggak mau nginep di sini aja? Udah malem lho ini," Bu Asih tampak khawatir takut jika terjadi sesuatu kepada anak dan menantunya di jalan.

Arsen menatap Elina meminta pendapatnya. Elina tau bahwa suaminya ini tidak terlalu nyaman jika bukan tidur di rumahnya sendiri.

Elina tersenyum lalu menggapai tangan ibunya. "Lain kali aja ya, Bu. Elina janji bakal sering main ke sini," ucap Elina tak mau membuat Ibunya sedih.

Bu Asih menghela nafas pelan. "Ya sudah, yang penting kalian hati-hati. Arsen jangan ngebut ya bawa mobilnya!" perintahnya dengan nada halus.

Arsen mengangguk cepat lalu menyalami wanita di depannya diikuti Elina. "Iya, Bu. Kami pamit ya."

"Iya, kalau udah sampai telfon Ibu, ya."

Bu Asih menatap mobil yang semakin menjauh hingga hilang di belokan kompleks. Bibirnya menyunggingkan senyum, Ibu ikut bahagia jika kamu bahagia, nak.

~tbc~

Saudade: Jejak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang