tujuh

836 37 48
                                    

~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~

Siang ini Deffan berencana bertemu dengan Arsen di sebuah cafe. Sebenarnya ia sangat malas, tetapi ini semua demi Elina.

Deffan terpaksa menelfon Rendy untuk mempertemukannya dengan Arsen. Awalnya memang Arsen menolak, tetapi setelah mendengar bahwa Deffan akan memberitahu di mana Elina, ia tanpa pikir panjang langsung menyetujuinya.

"Jadi, Elina ada sama lo?" tanya Arsen dengan tangannya yang mengepal.

"Iya."

"Kenapa baru bilang sekarang, bangsat?!" Arsen menggebrak meja keras hingga membuat beberapa orang menoleh heran sekaligus takut.

"Sen, jangan gila. Nggak usah buat rusuh! Kita dengerin dulu penjelasan Deffan," ucap Lintang lalu menarik paksa Arsen untuk duduk.

"Pulang dari promnight, gue liat ada cewek digangguin sama orang mabok. Dan ternyata itu Elina karna dia nggak tau mau ke mana, jadi gue bawa ke apartemen." jelas Deffan.

"Tapi tenang, gue nggak ngapa-ngapain dia. Gue bukan cowok brengsek soalnya," sambungnya sambil tersenyum miring ke arah Arsen.

"Gue mau ketemu sama dia,"

Hati Arsen sedikit lega Elina baik baik saja, tetapi dirinya juga kesal kenapa harus Deffan yang bersama gadisnya. Orang yang membuat dia terbakar api cemburu beberapa minggu yang lalu.

"Jangan sekarang. Biarin Elina nenangin diri dulu, kalo udah tenang lo bol--"

"Gue pacarnya, dan gue berhak buat ketemu sama dia. Jadi, lo nggak usah ikut campur!" potong Arsen.

"Lo jangan egois bisa nggak?!" Deffan mulai terbawa emosi. Masih untung dia memberitahu keberadaan Elina pada Arsen. Tetapi lelaki itu malah berbuat seenaknya.

"Harusnya gue nggak bilang keberadaan Elina sama lo! Biar lo gila sekalian!"

Mendengar perkataan Deffan, membuat Arsen naik pitam. Tangannya mengepal bersiap untuk memukul wajah Deffan.

Bugh

Satu pukulan berhasil membuat Deffan terjatuh. Tak mau kalah, Deffan bangkit dan balas memukul Arsen. Mereka sama-sama tak ingin kalah. Bahkan, Lintang dan Rendy sampai kuwalahan. Banyak orang yang lari ke luar mencari aman agar tak jadi sasaran pukul mereka.

Pecahan gelas berserakan, Arsen mengambil pecahan tersebut lalu dilemparkan ke arah Deffan. Ia benar-benar ingin membunuh Deffan sekarang. Tangannya meremas pecahan gelas, tak peduli dengan darah yang sudah mengalir deras.

Belum sempat Arsen berbuat lebih jauh lagi, akhirnya satpam datang untuk melerai. Mereka harus segera meninggalkan kafe itu jika tidak pihak cafe akan membawa masalah ini ke polisi. Rendy segera membayar ganti rugi atas apa yang telah sahabatnya lakukan.

~

"Hoam," Elina menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya sambil mengumpulkan nyawa.

Sekarang sudah pukul dua siang, cacing di perutnya pun sudah demo ingin meminta makan. Ternyata tidak hanya mahasiswa saja yang demo, cacing pun ikut. Dengan langkah gontai Elina berjalan menuju dapur yang ada di lantai bawah.

Namun, baru sampai di pintu kamar. Ia samar-samar mendengar suara tawa Lintang. Ya, Elina yakin bahwa itu suara Lintang. Siapa lagi teman lelakinya yang tertawa seperti nenek lampir jika bukan Lintang.

Elina mengintip melalui celah pintu yang ia buka. Tidak hanya ada Lintang, di sana juga ada Arsen dan Rendy. Lelaki itu sedang duduk dengan wajah datar andalannya. Sepertinya Arsen masih belum menyadari keberadaan Elina, ini merupakan kesempatan yang baik untuknya kembali ke kamar.

"ELINA!"

Elina merutuki kebodohannya karena ia tertangkap basah oleh Lintang. Harusnya ia masuk ke dalam kamar lebih cepat.

Seruan Lintang langsung membuat ketiga orang yang ada di ruang tamu melihat ke atas. Tepat di mana Elina berada.

"Lin, lo udah bangun? Sini turun. Gue beli brownies." Deffan berbicara sambil memperlihatkan satu box brownies.

Dengan hati ragu, Elina turun lalu duduk di samping Deffan. Kepalanya menunduk, ia tak berani menatap Arsen yang duduk di depannya. Sedangkan Arsen menatap Elina tajam seakan marah dan mengintimidasi. Auranya mengerti.

"Lin," panggil Deffan membuat Elina menoleh.

"Gue yang bilang ke Arsen kalo lo ada di sini," jelas Deffan seolah sudah tau pertanyaan apa yang ada di kepala Elina.

"Dan lo tau? Gue sama dia main tonjok tonjokan." Deffan terkekeh diakhir ucapannya.

Elina mengernyitkan keningnya, ia melihat pipi Deffan yang nampak lebam kebiruan. Tangannya mengelus lembut pipi Deffan.

"Kamu nggak papa? Ini pasti sakit."

Tubuh Deffan menegang saat tangan lembut itu mengelus pipinya. Ia hampir tak bisa berkata-kata. Hatinya berdesir oleh perlakuan Elina. Perlakuannya itu membuat rasa ingin melindungi Elina bertambah besar, namun entah apa yang membuatnya berperilaku demikian intinya seperti ada dorongan bahwa dirinya harus melakukan itu.

"Lin, aku minta maaf." Suara Arsen memecah keheningan.

Elina mengehentikan elusannya di pipi Deffan lalu menatap Arsen. Tatapan yang penuh akan kesedihan dan kekecewaan. Arsen yang melihat itu semakin merasa bersalah.

"Lin aku ke sini mau jemput kamu, kita mulai semua dari awal. Aku bakal nikahin kamu dan bertanggungjawab atas semua kesalahan aku."

Elina hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Arsen. Senyuman yang memiliki makna berbeda, seakan berkata bahwa dia bisa tanpa Arsen dari kemarin ke mana saja? Mengapa baru sekarang? Suasana semakin mencekam, Deffan menyuruh Rendy dan Lintang untuk pergi ke kamarnya. Bagaimanapun juga ini adalah masalah pribadi Elina dan Arsen, mereka tidak ada hak untuk ikut campur.

"Kamu adalah laki-laki yang nggak punya pendirian. Kemarin nyuruh aku buat gugurin anak kita, tapi kenapa sekarang kamu dengan santainya datang dan minta maaf, Sen?" Suara Elina serak menahan tangis.

"Niat aku ke sini mau minta maaf sama kamu. Aku nggak peduli tentang apa yang ada di pikiran kamu tentang aku, kamu sadar nggak? Kepergian kamu ini nggak bisa nyelesain masalah. Apa kamu nggak mikir gimana perasaan Bu Asih, sahabat-sahabat kamu, dan adik-adik panti."

Arsen mengehela nafas sebentar. Tangannya yang diperban karena luka menggenggam lembut tangan Elina.

"Sekarang aku minta kamu pulang buat mereka. Jangan egois, Lin."

Tak ada satu kata pun yang Elina mampu keluarkan dari mulutnya. Lidahnya mendadak kelu. Bagaimana bisa ia membuat Bu Asih khawatir. Tubuh Elina bergetar ia tak kuat lagi untuk membendung air matanya. Ia lelah sekaligus bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Aku nggak akan maksa kamu buat pulang hari ini. Semua butuh waktu, dan aku harap keputusan kamu nggak cuma terbaik buat dirimu sendiri, tapi juga semua orang."

Arsen tersenyum sambil mengelus perut datar Elina.

"Sehat-sehat yah, anak Ayah."

"Kamu juga, Lin jaga kesehatan. Aku sayang kamu." ucap Arsen diakhiri kecupan di dahi Elina.

~tbc~

Deffan kamu baik bgt cii^^

Saudade: Jejak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang