enam

866 42 42
                                    

~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~


"Ahh! Sial!" Arsen menjambak rambutnya kasar.

"Ke mana lagi gue harus nyari lo, Lin?"

Lintang menatap sahabatnya prihatin. Baru sehari saja Elina pergi, ia sudah seperti orang gila. Bagaimana jika seminggu? Bisa jadi dia seperti mayat hidup. Rambut yang berantakan ditambah bajunya yang kusut membuat orang-orang yang melihatnya mengira tidak waras.

"Lo sabar, Sen. Kalo nanti malem kita nggak berhasil nemuin Elina, kita lapor polisi. Sekarang lo makan dulu, dari pagi lo belum makan." saran Lintang.

Sekarang mereka sedang berada di warung Bu Suk. Mencari Elina selama berjam-jam cukup menguras tenaga.

"ARSEN!!"

Terdengar suara teriakan perempuan dari sebrang jalan. Ia menghampiri Arsen bersama satu orang temannya. Sesampainya di hadapan Arsen, ia langsung mendorong Arsen hingga jatuh. Arsen pun hanya pasrah, ia sudah cukup lelah untuk melawan.

"Gue nggak nyangka yah, lo sebrengsek ini! Lo cowok terbrengsek yang pernah gue temuin!"

"Iya, gue emang cowok brengsek, pengecut yang ngebiarin cewek yang dicintai nanggung semua luka sendiri. Gue ... gue brengsek! Tapi gue cinta sama Elina! Gue ... nyesel ...."

Arsen yang tadinya ingin berdiri kembali ambruk, ia menangis. Bayangan Elina yang tersiksa karenanya seakan-akan menghantuinya. Apa ia masih pantas memiliki Elina? Hatinya menjawab tidak. Memangnya siapa yang masih mau menerima sumber dari rasa sakit? Tidak ada.

"Gue nggak akan ngebiarin lo kalo sampai Elina kenapa-napa!" ancam Tiara, jarinya telunjuknya menunjuk Arsen.

"Tir, kalo lo mau buat rusuh. Mending lo pergi dari sini! Lo nggak tau, kita dari tadi udah nyari Elina."

Rendy mencoba menenangkan suasana. Tiara tak pantas menghakimi Arsen begitu saja. Tiara juga  tidak tahu betapa khawatirnya Arsen saat ini. Walaupun memang sepenuhnya ini adalah salah Arsen, namun ia sudah berusaha untuk menebus kesalahannya.

"Daripada ribut mending kalian ikut bantu cari Elina. Semakin banyak yang bantu semakin cepet Elina ketemu." saran Lintang.

Lintang membantu Arsen untuk duduk di kursi. Tangannya mengambil air botol mineral untuk mengguyur wajah Arsen. Membuat Arsen menatapnya tajam bersiap untuk menerkam.

"Sorry, Sen lagian lo lemes banget. Semangat dong!" ucap Rendy cengengesan lalu membuang botol kosong itu ke tempat sampah.

~

Sedangkan di tempat lain, terlihat lelaki keluar dari mobilnya dengan tatapan tajam penuh amarah. Tangannya mengepal, urat di lehernya terlihat menonjol.

"Arsen! Keluar lo!"

Lelaki yang tak lain adalah Deffan itu menggedor pintu dengan keras. Sekarang ia berada di rumah Arsen. Sangat tidak sopan untuk seseorang yang akan bertamu ke rumah orang, namun mau bagaimana lagi ia sudah tak bisa menahan emosi marah. Orang tua Arsen berada di Australia, di Indonesia dia hanya tinggal bersama asisten rumah tangganya.

Pintu terbuka, menampilkan wanita yang sudah tak muda lagi yang ia yakini adalah salah satu ART di sini.

"Nyari Den Arsen, Mas? Den Arsen nggak pulang ke rumah dari semalam."

Deffan memejamkan matanya mencoba sabar. "Bibi tau ke mana Arsen pergi?"

"Biasanya Den Arsen nginep di rumah Mas Lintang atau Mas Rendy."

"Kalo gitu saya pamit. Makasih, Bi."

Deffan harus mencari Arsen. Tangannya sudah gatal untuk memukul wajah yang selalu dipuja kaum hawa. Ia berdecih lalu berpikir apa sempurnanya Arsen, mengapa ia selalu menjadi bintang. Kalau hanya karena tampan ia juga tak kalah tampan, jika masalah pintar ia bahkan lebih pintar. Ia tersenyum kecut memikirkan hal itu lalu kembali fokus menyetir, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk.

"Hallo, Lin. Kenapa?" tanya Deffan setelah ia memberhentikan mobilnya di tepi jalan.

"Deffan kamu di mana?"

Terdengar dari sebrang sana suara serak Elina. Deffan yakin, sekarang pasti gadis itu sedang menangis.

"Lin, lo kenapa?"

Tut... Tut... Tut...

Elina memutuskan panggilan secara sepihak. Deffan takut Elina kenapa-napa, tak mau membuang waktu, ia segera tancap gas kembali ke apartemennya. Mengendarai mobilnya dengan cepat seakan tak peduli tentang keselamatannya dan orang di sekitarnya. Sesampainya di apartemen dia langsung memikirkan mobilnya asal.

Brak

Deffan berlari menuju lantai dua, tempat di mana kamar Elina berada. Tanpa permisi ia langsung masuk kamar yang tidak terkunci itu. Sesampainya di sana, ia mendapati Elina sedang menangis dengan wajahnya disembunyikan di antara lutut. Terisak penuh kesedihan.

"Lin? Lo kenapa?" tanya Deffan khawatir.

"Hiks, Aku takut."

Tubuh Elina bergetar hebat, air matanya masih terus mengalir. Tangannya dingin namun berkeringat. Deffan semakin panik karena tangis Elina tak kunjung berhenti.

Deffan menarik tubuh Elina, mendekapnya. Menyalurkan rasa hangat dan ketenangan melalui pelukannya. Jantungnya berdebar lebih kencang. Ia tak tahu mengapa, melihat Elina yang tersakiti seperti ini membuatnta ikut sakit. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk dadanya. Tak dapat dipungkiri ia sangat menyayangi gadis mungil ini.

"Takut? Lo takut kenapa?" Tangannya mengelus lembut pundak gadis di pelukannya.

"Aku takut kalo Arsen masih nggak mau nerima anak ini." Elina menatap mata Deffan dalam. "Aku mohon jangan kasih tau Arsen aku di sini."

Deffan hanya terdiam, tangannya beralih mengusap halus rambut Elina. Mengerikan air mata Elina dengan tisu, lalu mengecup matanya pelan. Menatapnya penuh iba, Elina yang ia kenal dulu adalah perempuan ceria namun sekarang keceriaan itu menjadi sebuah kesedihan.

"Sorry Lin, tapi gue gak bisa nutupin ini dari Arsen. Mau bagaimana pun dia harus tanggungjawab."

~tbc~

Saudade: Jejak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang