empat

902 50 109
                                    

~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~

Arsen duduk dengan perasaan gelisah. Setelah mendapat kabar bahwa Elina kabur, ia langsung meluncur ke panti asuhan. Dan sekarang ia sedang berhadapan dengan Bu Asih yabg menatapnya tajam. Ia terkejut saat Bu Asih melemparkan surat ke atas meja. Surat yang Arsen yakin ditulis oleh gadisnya.

"Baca! Ibu menemukan ini di meja belajar Elina," perintah Bu Asih dingin.

Dengan rasa penasaran yang menggebu, Arsen membaca kata demi kata yang tertulis di surat tersebut. Tulisan tangan gadisnya yang rapih.

 Tulisan tangan gadisnya yang rapih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Elina pergi. Gadisnya, sosok yang ia cinta. Sungguh, tak akan Arsen biarkan apa yang sudah menjadi miliknya pergi. Elina akan terus bersamanya, selamanya.

"Sekarang Ibu mau kamu jujur. Apa kamu yang menghamili Elina?"

Arsen mengangguk, hanya itu yang ia bisa. Pikirannya kacau memikirkan ke mana gadisnya pergi. Dalam hatinya ia merasa telah menjadi pria brengsek. Membiarkan gadis yang sedang mengandung anaknya pergi tanpa ada yang menjaganya.

Bu Asih menggeleng tak percaya. "Tega kamu, Arsen."

"Arsen minta maaf, Bu. Arsen janji akan bawa Elina pulang. Maafin Arsen, Bu." Arsen berlutut di hadapan Bu Asih.

Bu Asih membuang wajahnya, sambil menyeka air matanya yang keluar.

"Apa Nak Arsen tidak memikirkan bagaimana perasaan Elina? Elina pasti hancur, Nak. Elina hancur."

"Arsen janji akan mencari dan menemukan Elina. Ibu bisa pegang janji Arsen."

"Pintu keluar ada di sebelah sana." Bu Asih menunjuk pintu yang terbuka lebar.

Dengan langkah gontai, Arsen berjalan ke arah pintu.

"Arsen pamit, Bu."

Bu Asih terus memandangi punggung Arsen. Setelah pintu tertutup rapat, air matanya kembali mengalir. Satu hal yang harus kalian ketahui, Bu Asih tak membenci Arsen. Ia hanya kecewa, dan tak percaya bahwa semua ini menimpa anak gadisnya.

~

"Sial! Lo ke mana sih, Lin?!" Arsen meremas stir mobilnya.

Penampilannya berantakan sangat kontras saat di acara prom night tadi. Kancing atas kemeja putihnya hilang entah ke mana, rambutnya pun sudah acak-acakan.

Ia mengambil ponselnya, memanggil nomor gadisnya untuk yang kedua puluh kalinya. Ia berharap semoga panggilan kali ini diangkat. Namun, tetap saja nomornya tidak aktif.

Sudah dua jam lebih ia mengitari jalanan di kota ini namun hasilnya nihil. Tangannya gemetar, perasaan marah yang tadi menguasai hatinya berubah menjadi ketakutan. Arsen menarik nafas kasar. Ini sudah pukul 23.30, ia takut terjadi sesuatu pada Elina. Ia tahu betul, Elina tak bisa bela diri. Bagaimana jika ada orang yang mengganggunya. Memikirkan saja membuat ia mengepalkan tangan marah.

Ia memutuskan untuk menginap di rumah Rendy, dan akan meminta bantuan teman-temannya. Memakan waktu 15 menit untuk sampai ke rumah Rendy. Sesampainya di sana terlihat Rendy dan Lintang tengah duduk di teras sambil bermain ponsel.

"Eh, Arsen. Muka lo kusut bener, kenapa?" tanya Lintang yang juga sedang berada di rumah Rendy.

Arsen berjalan lurus, tak menjawab. Lintang heran dengan sikap Arsen sekarang. Padahal tadi saat acara prom night ia masih baik-baik saja. Rendy yakin, pasti ada suatu hal yang sangat genting, sehingga membuat Arsen sefrustasi ini.

"Elina kabur." Ucapan Arsen berhasil membuat Lintang dan Rendy terkejut.

Arsen menceritakan alasan yang membuat Elina pergi. Dan memberitahu penyebab ia melakukan hal yang nekat pada Elina. Mereka memandang Arsen tak percaya. Karena setahu kedua sahabatnya itu, Arsen sangat mencintai Elina, saking cintanya dia bahkan tak ingin Elina berpaling darinya, walaupun pada kenyataannya dia jarang sekali menunjukkan rasa cintanya lewat perilaku, namun diam-diam dia sangat peduli.

"Sen, lo gila." Lintang menggelengkan kepalanya.

Seorang Lintang sudah bicara seperti itu tandanya Arsen memang sudah sangat keterlaluan, bahkan jika boleh ia ingin sekali meninju wajah Arsen sekarang. Namun melihat kondisi sahabatnya yang kini sedang kacau ia memilih untuk menahan.

Rendy yang sedari tadi diam pun angkat bicara,

"Mau semarah apa pun lo saat itu. Lo nggak berhak buat ngerusak Elina. Dia cewek lo Sen, lo harusnya ngejaga dia. Dan sekarang, lo mau menyesali perbuatan, lo? Cih, telat."

Arsen mengusap wajahnya kasar. "Gue sekarang harus ngapain?!"

"Lo tenang aja. Kita bakal bantu buat cari Elina. Tapi sekarang lo harus istirahat dan tenangin pikiran lo." saran Lintang.

Arsen mengangguk faham, tubuhnya juga sudah lelah. Ia berjalan ke kamar milik Rendy untuk beristirahat. Berusaha menutup matanya walaupun pikirannya masih tertuju pada Elina. Berharap besok bisa menemukan gadis kecilnya itu.

~

Di jalanan yang tampak sepi, Elina berjalan tergesa-gesa karena ada seorang pria yang mengikutinya. Ia ingin meminta tolong, namun tak ada orang karena ini sudah larut malam.

"Tungguin Abang dong, cantik," ucap pria itu ketika sudah mencegat Elina.

Elina berbalik ingin melarikan diri. Namun, belum sempat berlari. Pria itu berhasil mencengkeram lengannya.

"Lepas!" Elina memberontak namun cekalan pria tua itu terlalu kuat.

Tubuh Elina gemetar takut, rasanya ia ingin menangis sekarang.

"Nggak bisa kabur lagi, manis."

Elina berharap ada seseorang yang menolongnya saat ini. Tak lama ada mobil Lamborghini hitam berhenti di sampingnya. Keluarlah lelaki ber jas hitam dari mobil itu dan langsung memukul pria yang menganggu Elina tadi.

Bugh

Bugh

"Pergi Lo!," ucapnya sambil menyugar rambut hitamnya yang sedikit berantakan.

"Lemah," sambungnya sambil berdecih.

Elina mengenali suara itu, ketika lelaki yang menolongnya berbalik.

Deg

"Lho? Elina?"

~tbc~

sp y kira²?
jgn² pcr ak lgi hihi

Saudade: Jejak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang