12 - Nojiko

3 3 0
                                    

Puas juga gue ngeliat tampang si Vivi.

Yah, Vivi betul-betul brengsek akhir-akhir ini. Mama selalu memintanya untuk menjaga Hellena, tapi dengan cerdik cewek itu menghindar dengan berbagai alasan yang beneran masuk akal.

Contohnya pagi tadi.

Sehabis memandikan Emily, Nyokap bilang begini ke Vivi, "Vivi, pulang sekolah nanti kamu jagain Hellena, ya. Mama harus jagain Emily." Tahu gak Vivi jawab apa? Dia malah jawab, "Haduh, maaf, Ma, Vivi ada remedial matematika."

Padahal jelas remedial matematika saja minggu depan, dan Vivi gak remedial. Jadi apa itu maksudnya dia bilang dia ada remedial? Dan saat pulang sekolah gue memergoki Vivi malah jalan bareng sama Alvaro!

Lama-lama gue juga mulai benci sama Alvaro. Cowok itu 'kan jelas yang ngasih pengaruh-pengaruh jelek ke Vivi. Dan gue benci itu. Vivi kan dari dulu emang brengsek, tapi dia sama sekali gak mengganggu. Lah sekarang.....

Gue ngerasa ketusuk begitu tahu ternyata Dave naksir berat dengan Vivi. Padahal (ini rahasia) gue naksir berat sama Dave. Tapi ternyata dia sukanya sama kakak kembar gue yang, memang, cantiknya luar biasa. Gue ingin sekali cowok itu berpaling ke gue, tapi gue gak tau caranya. Akhirnya, dengan cara agak pengecut, akhirnya gue berusaha "meracuni"-nya dengan keluhan gue tentang Vivi.

Tadi siang, gue curhat lagi, tentang Vivi ke Dave. Sebetulnya bukan gue yang mulai, tapi Dave.

"Tampang lo kusut banget!" komentar Dave ketika berpapasan dengan gue. "Kenapa? Lo bau ketek nih!"

Sialan!

"Lo juga!" gue agak membentak. "Tampang gue kusut, ya? Yodah cariin setrika panas, ya! Gue mau setrika nih muka gue, biar gak kusut lagi!" kata gue sambil berlalu. Tapi Dave menahan tangan gue, dan dia bilang, "Gue tau setrika yang tepat. Yaitu gue traktir!" kata Dave nyengir. "Ayo gue traktir Coca-Cola pake es, abis itu lo cerita kenapa tampang lo jelek gitu."

Waduh, tampang gue jelek dia bilang!

Gue duduk di kursi, lalu Dave membelikan gue Coca-Cola dengan es. "Nih soda lo," kata Dave kepada gue. Gue tersenyum manis. "Thanks, ya."

"No problem. Sekarang lo harus cerita ke gue kenapa lo kayaknya bete berat gitu. Kenapa? Vivi lagi?" tanya Dave dengan nada perhatian.

Gue mengangguk, perlahan. "Iya, lagi-lagi gara-gara Vivi."

"Coba ceritain," pinta Dave.

Akhirnya gue ceritain semua dari A sampai Z. "Gue gak tau harus apa lagi, Dave," kata gue. "Vivi... dia beneran brengsek."

Dave tersenyum sinis sekaligus antusias. "Aha! Gue tau!" serunya dengan wajah yang bikin gue ngerasa sebentar lagi kena serangan jantung. "Nojiko," gumamnya, "Gue yakin Vivi gak seburuk yang elo sangka. Percayalah sama gue," katanya. "Pasti, suatu hari dia berubah. Oke? Kalau gue perhatikan, dia sebetulnya cewek baik."

Jantung gue yang berdegup kencang itu mulai berdegup biasa, teratur. Gue jengkel banget! Kenapa sih, si Kampret ini malah memihak pada Vivi. Dan jelas, ini gara-gara cinta monyet tolol!

"Gue iri sama Vivi," kata gue dengan wajah kesal. "Kok bisa ya, dia bisa begitu bebas dan hoki begitu? Dia punya cowok yang mau temenin dia, yang cinta berat sama dia, setia sama dia, punya segudang alasan untuk menghindar, masa SMAnya bahagia, banyak yang naksir sama dia... dia cerdik banget pula, ngelempar tanggung jawabnya sana-sini ke orang lain. Sementara dia beria-ria dengan cowoknya, gue harus menjaga Hellena!" sembur gue bete.

"Memangnya itu berpengaruh besar buat elo?" tanya Dave.

"Banget!" kata gue, kali ini gue malah menangis. Eh, bukan menangis karena galo ya. Enak aja, ngapain gue nangis gara-gara cinta gue bertepuk sebelah tangan? Nggak usah ya. Gue menangis karena marah. "Gue kemaren ditawari ikut join ekskul Drama, tapi gue terpaksa gak bisa kasih jawaban gara-gara Vivi nyeret gue dan meminta gue jagain Hellena. Bahkan dia udah siapin barang sogokan yang bikin gue mau!" kata gue menangis.

The Curse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang