16 - Alberto

5 4 0
                                    

"Astrid! Lo bener-bener gila!" seru gue kaget begitu cewek itu langsung menutup pintu rumah Echa.

"Ya, gue kaget lo bilang lo mau bantu mereka. Lo nggak ingat betapa brengseknya mereka sekitar dua tahun yang lalu?!" seru Felicio.

"Diem lo semua!" teriak Astrid. "Maaf, ya, gue nggak tahan denger ada orang yang menderita. Gue pengen cepet-cepet orang itu nggak menderita lagi alias masalahnya beres!"

"Tapi nggak gini kali caranya!" tiba-tiba Felicity, cewek paling pendiem di geng kami berseru. "Masa lo udah lupa kita lagi asyik main di warnet terus sekring listriknya dimatiin sama mereka?!"

"Gue masih inget!" seru Astrid lagi. "Udah! Pokoknya gue besok bakal ikut nolongin mereka. Kalian kalau nggak mau ikut, ya udah, nggak masalah kok buat gue! Pokoknya besok malam gue ke SMA Pemhara! Titik!" bentak cewek itu lagi.

Sumpah, baru kali ini gue ketemu cewek yang kalau udah ngamuk-ngamuk terlihat horror banget. Lucunya, banyak yang bilang kalau gue ngamuk, gue lebih seram lagi dari Astrid. Pernah nih gue denger bocoran nanti setelah genap lima tahun geng ini berdiri, gue bakal menggantikan Astrid menjadi pemimpin. Habis katanya gue sama kerennya kayak Astrid.

Heh, bukannya gue sekeren cewek, ya! Amit-amit!

"Oke," tiba-tiba gue bersuara. "Sebenci-bencinya gue sama mereka, gue nggak akan biarin elo sendirian deh. Lebih baik gue ikut aja," kata gue lagi. "Kan gue nggak bakal hanya berdua aja sama lo."

"Kalian jangan berdua aja sama anak-anak itu!" tiba-tiba Echa berteriak. "Gue mau ikut juga, dong!"

Gue mencibir mendengar kata-kata Echa yang jelas terdengar cemburu. Bukan gosip bohongan lagi kalau Echa naksir berat sama gue. Selain Felicity dan Astrid udah pernah bilang ke gue, Echa sendiri sudah pernah ngaku duluan. Gue suka juga sih sama dia. Tapi cuma suka sebagai temen aja, nggak lebih. Yah, walau gue rada-rada tersanjung juga sih ditaksir sama anak konglomerat. Ini kan menunjukkan gue keren! Huahahaha.

"Boleh aja. Serah elo deh," kata gue, berlagak seolah gue pemimpinnya. Gue menoleh ke arah Astrid yang mukanya masih terlihat jengkel. "Gimana? Lo mau Echa ikut, nggak?" tanya gue.

"Beberapa boleh ikut, tapi jangan semuanya," kata Astrid kaku.

"Begini saja," tiba-tiba si cowok Jerman (eh, beneran orang Jerman, lho) yang namanya Nigel (bacanya 'naijel' bukan 'nigél'!) menyeletuk. "Bagaimana bila yang ikut adalah Astrid, Felicity, Echa, Felicio dan kamu? Maka bila kalian berlima pergi bersama-sama, maka kami berlimabelas tidak usah terlalu cemas."

Gue selalu mau cekikikan karena Nigel selalu memakai bahasa yang terlalu formal begitu. Kayak kata nyokap gue, kalau ada orang luar belajar bahasa Indonesia, pas dipraktekkin, malah kedengarannya lucu. Tadinya sih gue nggak percaya, soalnya Miyuki, cewek Jepang yang ada di geng kami itu ngomong bahasa Indonesia selancar kami. Bahkan bahasa yang dia pakai gaul-gaul gitu. Tapi ternyata nyokap gue bener. Ya, liat aja deh si Nigel. Biasanya, gue suka maksa dia ngomong banyak biar gue bisa ngetawain dia sepuasnya.

"Bener juga ya lo," gumam gue. "Pinter juga ya, lo, Gel. Bener kata dia, Strid. Mending kita besok pergi berlima aja," lanjut gue lagi.

Astrid menatap Nigel. "Baiklah. Makasih buat ide lo, ide lo bagus kok," kata Astrid. "Jadi besok kita berlima pergi ke SMA Pemhara, oke? Ingat, kita jangan saling memisahkan diri sendiri. Celaka-celaka nanti salah satu dari kita malah mati," kata Astrid lagi. Gue bergidik mendengarnya. Hmm, kayaknya pengalaman besok bakal jadi pengalaman yang menakutkan jiwa dan raga, nih. Hehehe.

The Curse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang