24 - Nojiko

5 4 0
                                    

"Ma, plis, jawab yang jujur." Kata gue sambil mengedikkan bahu ke arah Scarlet yang tampak tegang. Malam kemarin, kami sudah sepakat untuk membicarakan masalah ini dengan Nyokap. Semoga Nyokap nggak marah.

"Apa, Nak?" tanya nyokap gue, tampak heran.

"Jawab yang jujur, Ma. Kami janji kami nggak akan marah," kata Scarlet sambil tersenyum. "Apapun jawaban Mama."

Nyokap melipat tangannya di dada. "Apa sih maksud kalian kali ini?" tanyanya dengan kesal. "Apa-apaan ini....interograsi?"

"Tepatnya gitu," kata gue sambil berusaha tidak terlalu terlihat datar. "Ma, Mama dulu kenal sama Pak Hatta nggak?"

Nyokap gue terlihat tegang. "Pak Hatta?" tanyanya dengan ketakutan. "Kepsek SMP-SMA Pemhara, maksud kalian? Kalau itu sih, Mama kenal. Ya, semua orang tua yang nyekolahin anaknya disana pasti kenal dong," kata Nyokap sambil tertawa kering, berusaha bersikap riang dan santai.

"Begitu," kata Scarlet. "Tapi sebelumnya? Di kampung Mama?"

Nyokap menatap kami dengan heran sekaligus marah. "Apa-apaan sih ini!" teriaknya sambil berdiri. "Mama nggak kenal Pak Hatta! Mama nggak kenal! Mama hanya tahu dia karena dia Kepala Sekolah sekolah kalian!" serunya. "Nggak ada yang nanya-nanya lagi! Mama nggak suka! Pergi, kalian!" teriaknya sambil mendorong kami.

"Ma! Kalaupun dulu Mama emang punya masa lalu kelam yang Mama nggak ingin semua orang tahu, toh kita nggak bisa mengelak kalau kita anak Mama!" teriak gue nggak tahan. Nyokap gue yang posisinya sedang membelakangi kami, terpaku di tempatnya.

"Ma. Kami nggak tahu persis masa lalu Mama yang dulu. Sungguh. Tapi ada yang mengatakan kalau dulu....dulu....." Scarlet nggak sanggup melanjutkan kata-katanya. Gue memakluminya. Ya wajarlah, masa rahasia kotor keluarga begitu langsung dibeber-beberin karena lagi marah?

Nyokap gue masih terpaku, bahunya terlihat terlalu tegak karena terlalu tegang. Tak lama kemudian, bahu Nyokap terlihat terguncang-guncang, dan yang bikin gue dan Scarlet melongo adalah : nyokap gue menangis!

"Kalian nggak salah," kata Nyokap sambil mengucek matanya. "Dulu Mama berpacaran dengan Pak Hatta. Dulu, sewaktu Mama bahkan masih SD. Kalian tahu....tradisi desa Mama di Jawa Tengah kan masih kuno. Kalau bisa menikah sedini mungkin. Kalau bisa umur 12 sudah berkeluarga. Mama nggak tahu perasaan Pak Hatta ke Mama gimana. Mama hanya nggak nyangka kalau Pak Hatta sayang banget sama Mama. Tapi Mama bosen dibelai-belai terus olehnya, dimanjain, dan macam-macam. Sampai akhirnya di usia 12, Mama bertemu dengan ayahmu. Saat itu Pak Hatta baru saja ingin meminang Mama. Sejak Mama bertemu dengan ayahmu, Mama selalu berusaha berkelit dari Pak Hatta, dan selalu berduaan dengan ayahmu yang juga menyukai Mama sejak pertama kali melihat Mama. Apalagi, ayahmu menjuluki Mama adalah Bunga Desa. Mama makin senang. Sementara Pak Hatta tidak pernah membuat Mama senang. Hingga akhirnya tiba-tiba Mama muntah-muntah, dan ternyata....Mama hamil...." Nyokap menyelesaikan kata-katanya dengan pahit.

"Saat itu Mama hamil Stefani?" tanya gue.

Nyokap menatap kami. "Ya. Mama hamil kalian berlima. Stefani, Vivi, kalian, dan Hellena."

"Sudahlah, Mama, jujur sajalah. Kami sudah tahu kami hanya Kembar Tiga. Hellena bukan saudari kembar kita bertiga. Mama hanya mengandung Hellena cepat, kan? Kami lahir di bulan Januari, tapi lalu Mama mengandung Hellena di akhir Februari di tahun yang sama hingga dia lahir di awal bulan Desember. Kebetulan dia juga lahir di tanggal 4 juga, sama seperti kami, hanya kami bulan Januari, dia Desember. Kebetulan lainnya, dia juga lahir di tahun yang sama. Benar, kan?" tanya gue. "Dan Mama...aku tahu satu soal. Mama mengandung Stefani diluar nikah, kan?" lanjut gue hati-hati.

Nyokap terpaku. "Dari mana kalian tahu semua ini? Mama sudah bertahun-bertahun berusaha menyimpan semua ini dengan rapi."

"Kebohongan, cepat atau lambat, pasti terbongkar, Ma," gumam Scarlet.

Nyokap membalikkan tubuhnya, lalu ia menangis tersedu-sedu. "Ya, itulah rahasia yang selama ini Mama sembunyikan dari kalian," isaknya. "Mama minta maaf, kalau Mama nggak mau jujur sama kalian...." Tangisnya.

Gue nggak tahan. Gue berlari dan merangkul nyokap gue. Nyokap gue balas memeluk gue. "Ma, sebejat apapun Mama, kami tetap menyayangi Mama karena Mama adalah nyokap kami sendiri. Mamalah yang melahirkan kami. Merawat kami. Dan masih banyak lagi. Tidak ada alasan untuk membencimu, Ma."

Nyokap gue semakin menangis tersedu-sedu. "Maafkan Mama, Nak!" katanya sambil membelai kepala gue lembut. "Maafkan Mama!"

"Ma..." ujar Scarlet lembut, "Sekotor-kotornya masa lalu Mama, itu hanya masa lalu yang udah lewat. Rasa sayang kami terhadap Mama pun tidak akan berkurang sedikitpun."

Tangan Nyokap gue yang bebas terulur, lalu memeluk Scarlet erat-erat. Dalam kesedihannya, ia tersenyum. "Terima kasih, Nak," ujar nyokap gue, pelan dan lega. "Terima kasih."

The Curse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang