21 - Nojiko

8 4 0
                                    

Mundur ke 14 Februari 2015, pukul dua pagi.

Siapa sih yang bisa menghindar dari nasib yang sudah digariskan ke kita? Nggak bakalan ada yang bisa. Yah, contohnya saja gue. Mau sengotot apapun gue berharap kakak kembar gue tetap hidup sampai tua nanti, tapi nasib mengatakan bahwa kakak kembar gue itu hanya sampai tujuh belas tahun saja umurnya.

Dasar nasib keparat tukang omong. Mending nasib diem aja deh, gak usah berkata apa-apa.

Eh tapi nanti nggak ada yang punya nasib bagus maupun jelek dong? Aaarrrggghhh...dasar gue, kalo ngomong selalu nggak gue pikirin dulu. Huh!

Gue gemetaran. Gue gak percaya Vivi---kakak kembar gue yang nyebelinnya setengah mati itu tapi sebenarnya baik---udah mati. Yang bikin gue miris, Vivi merupakan cewek yang paling kompak dengan gue. Dan surat ancaman kematian bahwa ada yang mati tanggal 14 Februari itu terjadi. Dan gue gak nyangka korbannya adalah kakak gue sendiri!

Maksud gue, bukannya gue belum memprediksikannya dari awal. Gue sudah tau kalo salah satu dari anggota kami bila tertangkap akan mati. Tapi yang gue harapkan, semuanya selamat, tidak ada yang meninggal segala. Gak taunya, salah satunya meninggal---dan itu adalah kakak gue!

Gue menatap langit-langit kamar gue. Gue melirik ke arah fosfor berbentuk I LOVE YOU yang ditempel disana. Fosfor itu sangat besar, warnanya sangat cantik, dan bila bersinar-sinar, terlihat cantik sekali. Fosfor itu dihadiahkan oleh Alvaro untuk Vivi setelah mereka sudah genap sebulan pacaran, dan Vivi amat menyukainya. Ia menempelnya di langit-langit kamar. "Biar gue inget terus perasaannya dia ke gue!"katanya begitu.

Air mata gue merebak. Gue sedih Vivimati secepat ini. Gak adil. Umurnya baru sebentar sekali.Hanya tujuh belas tahun. Yeah, Januari kemarin, kami semua berulang tahun ke-17.

Kenangan akan Vivi mulai berseliweran di kepala gue. Dada gue sesak menahan tangis. Yah... cewek itu 'kan sangat baik, dan benar-benar berharga bagi keluarga gue. Apalagi bagi si Culun Alvaro.

Orang tua gue belum tahu perihal ini. Habis mengantarkan jenazah Vivi ke rumah sakit---kami Langsung pulang dalam keadaan syok. Kebiasaan Alvaro untuk ketawa dan banyak bacot lenyap. Dia menjelma menjadi cowok culun yang pendiam sekali.

Mata gue masih nyalang sampe gue mendengar pintu rumah ini diketuk. Gue terpaku. DUK DUK DUK.

Suara itu menggema di rumah ini. Gue bangkit. Gue melirik Scarlet yang tidur di sebelah gue. Rasanya gue pengen bangunin tuh anak biar gue aman-aman aja, tapi kasihan juga dia udah tidur. Dengan berbekal pisau (yang entah kenapa begitu pulang gue ambil dari dapur ke kamar), gue pergi ke bawah.

DUK DUK DUK DUK DUK.

"Sabar!" seru gue pelan, lalu gue membukakan pintu. Di depan gue, syukur bukan orang yang harus ditakuti karena kejahatannya. Syukur hanya polisi. Gue 'kan gak bersalah, paling hanya diinterograsi.

"Selamat pagi, Nak," kata salah satu polisi itu. Eh gila, ini 'kan masih malam? Kok pagi?

Gue mengangkat alis. "Ng...ini emangnya jam berapa Pak?"

"Maaf mengganggumu menyuruh membukakan pintu bagi kami di pagi sedini ini," katanya tanpa menjawab pertanyaan gue."Tapi kamu sudah tahu salah satu anggota keluargamu ada yang meninggal hari ini?"

"Ya. Dia kakak kembar saya, Vivi," kata gue diiringi senyum tipis.

"Kalian kembar?" tanya polisi lain.

"Ya. Tepatnya kami Kembar Empat," kata gue. Polisi-polisi itu terbeliak matanya. Yah, jelas. Kembar kan biasanya hanya dua... tapi ini empat.

The Curse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang