11 - Vivi

6 4 0
                                    

Emily sama sekali bukan bayi rewel.

Yap, Emily tertidur lelap selama perjalanan pulang, dan Mama sudah khawatir saja dia bakal menangis rewel sepanjang malam. Tapi nyatanya nggak, Emily tetap saja tidur. Nyokap gue lega banget. Katanya dulu setelah melahirkan kami, Kembar Empat, kami rewelnya gak tanggung-tanggung. Saat itu Mama 'kan masih gadis muda, dan dia stressnya bukan main.

Hellena kelihatan jelas bingung siapa Emily. Jelas banget dari tatapannya yang bingung ketika menatap Emily, dan kadang sepertinya dia ingin menanyakan kepada Mama siapa dia. Terus terang, melihat Hellena begitu, hati gue kayak ketusuk. Dulu sebelum Hellena tidak normal, Hellena sangat bersemangat punya adik baru. Tapi kini...

Lupain aja.

***

Dasar cowok sinting.

Gue nggak tahu kenapa Alvaro, si anak yang (selama ini) dibilang paling religius (meski banyak yang nggak yakin lantaran dia punya geng dan dia terkenal sebagai preman di sekolah kami) berani banget mencium kening gue kemarin. Dan sepertinya tadi dia niat melakukannya lagi. Gue udah mulai takut, nih. Lama-lama Alvaro mulai sinting kayaknya. Gue terpaksa kabur dan berkelit dari itu cowok ketika dia berusaha mendekati gue.

"Lo kenapa sih? Kok kayaknya lo tiba-tiba kayak nafsu gitu sama gue? Jijik banget, tau!" protes gue pada Alvaro ketika pulang sekolah. Alvaro mengangkat alis. "Apa banget apaan? Gue mau nunjukin rasa sayang gue ke elo bolehlah!"

"Iya, tapi gak usah cium gue kali!" kata gue kesel.

"Emang gue cium lo hari ini?" tanya Alvaro dengan muka bete.

Ups. Nggak.

"Nggak kok," kata gue malu.

"Lo emang cewek gaje. Eh, tadi nyokap gue ngasih ini ke gue," kata Alvaro seraya mengeluarkan bungkusan berukuran sedang. "Katanya ini buat adek lo, si Emily," Lanjut Alvaro lagi. Gue mengintip isi plastik merah itu. Isinya ternyata kumpulan baju bayi yang imut-imut banget. Waduh, gue jadi sungkan.

"Oooh... waduh, makasih ya, Jer. Sampein terima kasih gue ke Tante Maya, awas kalo lupa!" seru gue memperingatkan. Alvaro menyeringai lebar melihat wajah gue yang keras. "Iya, iya. Gue nggak bakal lupa, kok!"

"Bener ya!" seru gue lagi. "Kalau gak disampein, malu tau! Kesannya gak berterima kasih!" lanjut gue. Oke, dalam soal sopan-santun gue agak keras. Tapi sialnya, Alvaro nganggep kalo sopan-santun itu gak terlalu penting. "Iya ih, bawel banget deh lo," tukas Alvaro.

Gue hanya misuh-misuh ketika tiba-tiba sebuah mobil Porsche yang keren banget berhenti di sebelah gue. Gue menatap Alvaro yang juga sedang menatap gue. Gue mengangkat alis. "Eh, Jer...ini siapanya elo...." Kata-kata gue Langsung terputus ketika tahu-tahu kaca mobil itu terbuka dan gue bisa melihat tampang si Dave, kacamata hitaman, tampak sombong banget.

"Ayo naik Porsche gue!" teriaknya.

"Porsche lo dari Hongkong!" dengus Alvaro. "Itu pasti Porsche keluarga lo!"

"Bukan, punya gue!" kata Dave ngotot. "Ayo gue buktiin!"

"Gak usah pamer kekayaan ya, mpret!" teriak gue jengkel. "Lo punyanya cuma becak China ato apa juga gue gak peduli!"

"Becak China itu becak kakek gue dulu, tau. Sekarang kakek gue ya pakenya mobil jugalah. Kalo gue sih pake Porsche," kata Davesambil nyengir. "Udahan, ayo masuk!"

"Bau mobil lo gak enak," kata Alvaro. "Bau rokok!"

"Iya, soalnya gue yang merokok," kata Dave ketawa. Ia menunjukkan puntung rokoknya yang masih mengeluarkan asap. Astaga, cowok ini bener-bener jadi junkies akhir-akhir ini! "Tapi ayo masuk, enak lho, ber-AC..."

The Curse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang