22 - Scarlet

5 4 0
                                    

"Gak ada apa-apa di sekitar sini," dengus Jessie. "Mungkin para penjahat itu sudah pergi semuanya?"

Gue hanya bisa Langsung ngegubrak mendengar omongan si Jessie. "Gak mungkin. Sekolah kita ini udah jadi markasnya mereka. Gak mungkin mereka dalam waktu lima hari nyari markas baru yang perfect. Kecuali kalo mereka cerdik dan udah punya cadangan," kata gue sambil mengangkat bahu.

Tiba-tiba Orlando jongkok. "Ngapaen lo?" tanya gue heran.

"Istirahatin lutut gue yang sekuat baja," kata Orlando. "Sampe kapan kita lari-lari gini kayak di Temple Run?" keluhnya.

"Lutut sekuat baja jidat lo!" dengus gue meremehkan. "Kalo lutut lo sekuat itu, kenapa cepet banget istirahatnya?"

Orlando malah jadi cengengesan. "Hehehe. Sori."

Malem ini peserta yang paling cepat pulangnya adalah Bu Angela. Baru dua puluh menit 'investigation', Bu Angela pamit pulang karena katanya suaminya sedang sakit dan suaminya khawatir Bu Angela terkena musibah.

Musibah seperti yang dialami Vivi...

Ih!

Sejak kematian Vivi, Alvaro menjadi sangat pendiam. Ngerti, 'kan. Kematian pacar secara mendadak yang sama sekali nggak diprediksiin sejak awal hingga bikin si Alvaro jantungan mendengarnya. Sepertinya cowok itu tidak akan menemukan gantinya. Maksudnya, cewek yang seperfek Vivi. Yang suka anime, suka main game-game yang "cowok banget", bisa diajak frikol maupun vidkol di LINE kapan aja, bergadang, gambar manga bareng....

Sekarang cewek yang menjadi segalanya baginya sudah tiada.

Gue pernah memergoki Alvaro diam-diam menangis kecil. Gue syok melihatnya menangis. Sebagai cowok yang termasuk paling cakep, paling galak dan paling preman di sekolah, rasanya melihat air matanya keluar itu merupakan hal yang sangat ganjil. Dan dia menangisi ceweknya. Ceweknya!

Yang membuat gue syok juga ternyata Alvaro benar-benar menyayangi kakak kembar gue itu. Dia benar-benar tidak ingin kehilangan Vivi. Sejak kematian almarhum pacarnya, ia sudah tidak pernah lagi mengoceh. Bahasa kerennya, kini Alvaro pelit suara.

Gue teringat satu momen ketika Vivi menunduk, melototi HPnya. Saat itu rambut panjangnya nyaris menutupi seluruh wajahnya. Alvaro yang ingin berbicara dengannya syok banget ngeliat Vivi mirip banget dengan setan. Sejak itu Alvaro menjulukinya Kuntilanak dan lebih herannya lagi, Vivi bangga sama julukan itu!

"Itu kan julukan dari cowok kesayangan gue. Jadi gue suka-suka aja, dong!" Seru Vivi enteng pas Nojiko nanya. Nojiko saat itu hanya bisa mengernyit jijik mendengar jawaban Vivi. Emang aneh dan sok romantis banget sih.

Betewe, Nojiko, Krystha dan Dave kemana ya?

Aneh sekali kelompok gue tidak pernah berpapasan satu kalipun dengan kelompoknya. Dalam investigation ini, paling nggak sesekali kami berpapasan. Tapi ini kok belum sekalipun ya?

"Jessie, coba nyalain senter lo," perintah gue. "Siapa tau disini ada footprints yang asing."

"Oke," kata Jessie seraya menyalakan senternya. Dan saat itu gue melihat garis-garis darah!

Pantas ada bau anyir dari tadi! Sepertinya pemilik darah ini diseret! Gue gemetaran. "Matikan senter lo, Jess," kata gue. Aduh, semoga Nojiko belum meninggal. Lebih tepatnya lagi, gue berharap nggak ada korban jiwa sekarang.

Jessie nurut aja. Cewek itu Langsung mematikan senternya. Kami meLanjutkan perjalanan, dan sampai tiba-tiba Jessie berteriak. "Ssst!!! Gue denger rintihan kecil!"

The Curse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang