42. Ibu

764 60 13
                                        

Pada akhirnya Sean menyerah pada rasa bencinya, ia akan menemui orang yang pernah sangat ia nantikan kehadirannya 13 tahun yang lalu. Ia lelah beberapa hari ini terus menerus memikirkan sang ibu. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tak peduli namun entah mengapa sulit sekali mengabaikan perkataan Nina tentang ibunya. Hati nuraninya seolah tak membiarkannya untuk bertingkah seperti itu, ada rasa iba yang muncul di hatinya.

Berulang kali Sean menarik napas panjang untuk menormalkan detak jantungnya yang bekerja dua kali lebih cepat. Ia benar-benar gugup, rasanya ia ingin membalikan tubuhnya lalu melangkah pergi keluar meninggalkan rumah sakit ini. Padahal ia datang tanpa keraguan sedikitpun tapi entah mengapa begitu sampai di depan pintu kamar rawat inap sang ibu nyalinya menciut. Ia bingung harus bagaimana saat bertemu nanti, kalimat apa yang harus ia gunakan untuk menyapanya. Sungguh, ia benci keadaan ini, kenapa ia harus bersusah hati untuk orang yang pernah menggores luka di hatinya?

Pelan-pelan Sean membuka pintu kamar tempat sang ibu menjalani perawatan, sebisa mungkin ia berjalan tanpa menimbulkan suara saat mendekati sang ibu yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya. Nina yang memberitahu kamar yang dihuni sang ibu melalui pesan singkat tak lama setelah pertemuan mereka beberapa waktu yang lalu padahal Sean tidak memintanya. Seketika rasa nyeri menjalari dadanya begitu melihat sang ibu dari dekat, tubuhnya yang kurus ditempeli banyak alat-alat medis, sungguh memilukan hingga tanpa terasa setetes air mata membasahi pipinya. Segera ia hapus air mata tersebut, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menangisi sang ibu. Sayangnya, air mata semakin deras membasahi pipinya. Ia tidak bisa untuk tidak menangis, kali ini saja ia ingin melanggar janjinya yang ia ucapkan dulu saat bertekad untuk tak mengharapkan lagi sang ibu kembali. Kenapa begini? Apa ia masih mengasihi wanita itu?

Lekat Sean menatap wajah sang ibu. Seolah tak lekang oleh waktu, wajahnya masih terlihat cantik sama seperti dulu. Tangan Sean bergerak ingin menyentuh wajah itu namun ia menariknya kembali, ia takut akan membangunkan sang ibu. Seperti ini lebih baik, kedatangannya tidak perlu diketahui. Ia belum siap jika harus saling berinteraksi, ia butuh waktu sedikit lagi untuk menata hatinya.

Sean kecil selalu iri melihat kehidupan teman-temannya yang terlihat bahagia karena mendapat cinta dan kasih sayang dari kedua orangtua mereka, sesuatu yang tidak pernah Sean dapatkan. Bukankah ayah dan ibunya menikah karena cinta tapi kenapa ia tidak bisa mendapatkan hal tersebut? Hanya kepahitan yang ia dapatkan, hampir setiap hari ia harus menyaksikan pertengkaran yang terjadi diantara kedua orangtuanya. Bekas luka yang ada di dekat alis sang ibu pun didapatkannya setelah bertengkar dengan sang ayah. Entah, bagaimana bisa ibunya terluka. Setiap kali keduanya bertengkar ia hanya bisa menyembunyikan dirinya di dalam kamar karena ketakutan dan berharap pertengkaran tersebut segera berakhir. Dibanding sang ibu, ia jauh lebih membenci sang ayah. Sifatnya yang temperamental sering sekali berlaku kasar padanya dan sang ibu. Apa mungkin ibu tidak menyayanginya karena ayah yang seperti itu?

Ada satu waktu yang membuat Sean yakin jika sebenarnya sang ibu memiliki rasa sayang untuknya. Waktu itu ia sempat mengalami sakit keras hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit. Bisa ia lihat dan rasakan bagaimana sang ibu begitu mengkhawatirkannya. Meski pada akhirnya keyakinan itu pun harus patah, ia keliru sepertinya sang ibu memang tidak menyayanginya. Kadang ia berpikir, mungkin kehadirannya di dunia ini memang tidak diharapkan kedua orangtuanya.

Sean harus segera pergi, jika terlalu lama di ruangan ini ia takut ibunya akan segera bangun dari tidurnya.

"Sean."

Sean terlambat, harusnya ia pergi lebih cepat. Suara lirih sang ibu memanggil namanya. Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

"Mama minta maaf!" Ucap Erika lirih. Dadanya bergemuruh hebat, hal yang ia nantikan akhirnya tiba juga. "Maaf udah ninggalin kamu! Waktu itu mama mau jemput kamu tapi kamu udah pergi."

Sean tidak sanggup membalikan tubuhnya untuk menghadap sang ibu, semua emosi bercampur menjadi satu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia bergegas keluar dari ruangan tersebut. Tangisnya pun pecah begitu pintu ditutup.

To be continue....

Dikit ya, iya dikit. Lagi panasin otak dulu biar mood lagi buat nulis. Ternyata masih banyak yang nungguin kelanjutan ceritanya. Maaf udah nunggu lama!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RASA || SKZ × ITZYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang