➖ Three Sisters

1.6K 179 11
                                    

Kafka punya tiga kakak perempuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka punya tiga kakak perempuan. Yang pertama, Kak Irina. Cantik banget. Waktu pertama ketemu, Ata hampir melongo karena ngerasa lihat bidadari. Jangan bilang Ata hiperbolis, karena ini kenyataan. Tampilannya doang galak, tapi sebenernya kalem. Nggak banyak omong. Sekali ngomong, suara yang keluar lembut banget. Kalau dari cerita Kafka, cuma Kak Irina yang sekarang bantu papanya di perusahaan. Ata lupa apa jabatannya, tapi jelas bukan yang disuruh-suruh fotokopi doang.

 Ata lupa apa jabatannya, tapi jelas bukan yang disuruh-suruh fotokopi doang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang kedua, Kak Winda. Cantik juga. Bukan cantik yang kalem-classy, tapi cantik yang ceria. Beda sama Kak Irina yang irit omong, Kak Winda ini ramah. Perhatian ke hal-hal kecil. Hobinya nebar senyum, ngisi kulkas Kafka, dan nyulik Ata buat diajak shopping di malem minggu kalau dia nggak lagi pacaran sama Kafka. Yang berujung, Ata dibayarin. Dan lebih ujungnya lagi, dia minta Kafka ganti duitnya Kak Winda. Sama kayak Kafka, Kak Winda nggak kerja di perusahaan papanya. Setelah lulus kuliah dari Ilmu Filsafat, dia kerja jadi jurnalis.

 Setelah lulus kuliah dari Ilmu Filsafat, dia kerja jadi jurnalis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang ketiga, dan yang paling berisik—kata Kafka, Kak Jessy. Kak Jessy ini Kak Winda versi upgrade. Ramah, doyan ketawa, nggak pernah nggak kelihatan senyum, mukanya secerah matahari pagi, dan cerewet banget. Kak Jessy yang paling sering ngerusuhin Kafka kalau dia pulang ke rumah. Sekaligus monopoli Kafka buat dibabuin seharian. Lima tahun terakhir—dan sampai sekarang, Kak Jessy jadi satu dari beberapa Brand Ambassador kosmetik kenamaan. Kesibukan lainnya: ngembangin Your Daily, brand tas miliknya.

Mereka mungkin punya karakter yang beda-beda, tapi selalu kompak kalau itu soal Kafka dan segala yang ada di hidup si bungsu. Termasuk bikin Ata nyaman di keluarga mereka.

Kayak yang lagi mereka lakuin sekarang.

Seenggaknya, sebulan sekali, selalu ada sesi shopping dan ngabisin weekend di mall sampai kaki rasanya hampir patah. Kaki Ata, terutama. Karena Kak Winda dan Kak Jessy tetap semringah setelah empat jam muterin mall dan ngabisin duit berjuta-juta. Kalau beruntung, Ata bakal diajak Kak Irina istirahat sambil ngisi perut di kafe selagi adik-adiknya kalap belanja. Kalau nggak beruntung dan tetap harus bareng sama Kak Winda dan Kak Jessy, berarti Kak Satrio—tunangannya—lagi curi-curi waktu buat ketemu Kak Irina.

"Kakinya Ata baru sembuh, Kak. Dua jam. Kalau lebih, aku jemput. Nggak usah nawar terus."

Kafka cemberut. Udah hampir setengah jam dan Kak Jessy belum berhasil narik Ata dari Kafka. Berhubung keseleonya Ata baru sembuh tiga hari lalu dan dia kadang keceplosan ngomong kalau kakinya masih kerasa agak nyeri sesekali, Kafka masih cerewet banget. Nganter Ata ke mana-mana. Mastiin kalau Ata nggak jalan kaki—kayak kebiasaannya kalau ngampus.

"Tiga jam." Kak Winda nyoba peruntungan.

"Satu setengah jam," timpal Kafka sambil ngerangkul Ata erat.

"Kok malah makin sempit, siiiiih?" protes Kak Jessy.

"Ditawar terus sama kalian." Kak Irina nyahut. Cuma dia yang paling kalem—selalu kalem—dari tadi. "Terima aja. Besok lagi, dua jam."

Ata hampir ketawa kalau nggak ingat Kafka bisa makin cemberut.

"Jangan ngaco, deh, Kak." Kafka melototi Kak Irina. "Besok, aku balik ke apartemen."

"Dua jam sebelum makan siang masih bisa, Ganteng." Kak Jessy nyolek bahu Kafka sebelum beranjak dan ngambil tasnya di atas meja. "Dua jam dihitung dari langkah pertama masuk mall. Macet dan parkir nggak masuk hitungan."

Kafka masih cemberut, jadi Ata inisiatif ngusap lengannya. "Kalau nanti kakiku nyeri lagi, aku janji mau dikompres."

"Nggak pakai nawar juga kayak Kak Jess, ya?"

Ata ngangguk.

Kak Winda senyum-senyum. "Posisinya Jessy kegeser. Sekarang, Ata yang paling jago nenangin Kafka setelah Mama."

Selagi Kak Winda nyiapin mobil—mereka nggak pakai sopir tiap mau shopping, Kak Jessy balik ke kamar buat mastiin penampilannya paripurna, dan Kak Irina nerima telepon dari Kak Satrio di pinggir kolam renang, Ata masih ditahan di ruang keluarga sama Kafka.

"Maaf, ya." Kafka ngecup pipinya.

Ata senyum. "I know you love me."

Kafka ngangguk. Tangannya ngusap rambut Ata dengan sayang. "Kalau udah sembuh total, mau jalan seharian sama kakak-kakakku juga nggak masalah. Jangan salah paham, Taa."

"Kamu khawatir dan ada alasannya. Bukan posesif yang annoying. Nggak apa-apa, Kaf."

"Kasih tau kalau aku udah mulai annoying. Atau lapor ke Kak Irina, dia bakal ngomelin aku semaleman dan bikin kupingku panas."

Ata ketawa pelan. "Kamu di rumah aja? Sendirian?" Mama-Papanya lagi datang ke resepsi penikahan anak dari kolega mereka.

"Diajak main tenis sama Kak Satrio."

"Take your time. Nggak usah buru-buru pulang. Kak Irina orangnya on-time dan nggak bakal bohong ke kamu. I'm safe with your sisters."

Kafka ngecup bibir Ata lagi. "Kalau kamu masih di sini, kayaknya aku nggak bisa biarin kamu pergi lima menit lagi."

Ata ketawa lagi. Dia berdiri dan ngambil sling bagnya di sisi kanan sofa yang kosong. Di dekat Kafka. Sengaja nggak balas kecupan Kafka. Rumah ini dipasangin beberapa CCTV. Emang, nggak pernah ada teguran apa-apa dari keluarganya meskipun Kafka sering rangkul-rangkul Ata—yang pasti ketangkep CCTV, tapi Ata khawatir dicoret dari daftar prioritas calon menantu.

"Balesannya di apartemenmu aja," bisik Ata. "Have fun sama Kak Satrio, Kaf!"

 "Have fun sama Kak Satrio, Kaf!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang