➖ Perfectly Beautiful

1.5K 232 12
                                    

"Cantik banget

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cantik banget."

Kafka hampir melongo lihat Ata, saking cantiknya. Hari ini, hari pernikahannya Mbak Tyra dan Dafa—suaminya (atau calon? Aduh, Kafka bingung sebutannya). Ata pakai kebaya kutu baru warna merah marun. Perpaduan kulitnya yang agak cerah dan kebaya yang Ata pakai bikin cewek itu kelihatan stunning. Jariknya jatuh beberapa sentimeter di bawah lutut. Dibentuk kipas di bagian depan. Lalu, kalung dari Kafka, ngelengkapi penampilan Ata. She was perfect for herself, and Kafka—of course.

"Kaf?" panggil Mas Ardi yang lagi duduk di samping Kafka—di sofa depan TV. Mereka lagi nunggu para cewek selesai dirias sesuai giliran.

Kafka tau ini agak kurang sopan—karena nggak natap orang yang ngajak ngobrol, tapi dia spontan nyahut, "Apa?"

"Adekku segitu cantiknya?"

Kafka ngangguk tanpa ragu. "Cantik banget, Mas. Kalau ada kata-kata yang lebih dari pada cantik banget—yang bisa deskripsiin cantiknya Ata, pasti itu buat dia."

Mas Ardi ketawa.

Ata baru selesai dirias dan keluar dari kamar. Cewek itu lagi nyari high heelsnya. Mukanya bingung, tapi cantik. Cantik yang nggak bisa dipikirin, apalagi dikira-kira. Cantik yang bikin orang melongo. Cantik yang kalau dilihat lama-lama, bukannya bikin bosen, malah bikin takjub. Ata belum senyum, Kafka udah hampir gila. Apalagi kalau senyum.

"Kata orang, cewek lagi cantik-cantiknya kalau punya pacar, Kaf. Pantes aja, makin lama, Ata makin cantik dan glowing—meskipun dia nggak pernah dandan yang menor kayak Tyra."

"Nggak, lah, Mas," bantah Kafka, sambil senyum-senyum ngelihatin Ata yang lagi diajak ngobrol sama Oca—anaknya Mas Ardi dan Mbak Gina. "Ata emang cantik dari sebelum aku jadi pacarnya. Kalau orang bilang dia makin cantik, pasti karena dia ngerawat diri."

Mas Ardi ketawa lagi. "Emang di sana nggak ada yang secantik Ata?"

Kafka ngelirik Mas Ardi yang lagi sandaran di sofa. Cuma dia dan Mas Ardi yang nunggu para cewek dirias sebelum berangkat ke gedung resepsi, jadi mereka bebas ngobrol apa aja. Sepupu-sepupu Ata yang cowok lagi jadi ahli hisap—alias ngerokok nggak berhenti-berhenti—di teras rumah.

"Kalau mau jujur sih, banyak, Mas."

"Kok milih Ata?"

"Boleh lebih jujur lagi, nggak, Mas?"

Waktu Kafka noleh ke Mas Ardi, cowok itu ngangguk.

"Kalau terus-terusan bandingin fisiknya Ata sama cewek-cewek di luar sana, aku nggak bakal pernah puas, Mas. Pasti ada aja yang lebih dari Ata. Jadi aku nggak mau kayak gitu. Aku mau punya pasangan yang bikin aku ngerasa punya tempat pulang, punya tempat yang bisa aku datengin kapan aja—sedih-senengku, punya ruang dengan cara yang unpredictable buat nurunin egoku. Di Ata, aku nemuin itu semua. She's not only has a beautiful face, but also has a beautiful soul." Mas Ardi nggak ketawa—dan itu berarti mereka lagi serius, jadi Kafka lanjut ngomong di antara waktunya yang sempit, "Karena aku mau bareng dia terus, aku belajar buat nerima semua yang ada dalam diri Ata—ini juga masih baru banget belajarnya. Dan makin aku nerima, makin aku bisa lihat kalau Ata itu cantik banget. Luar-dalem. So I have more than a thousand reasons to stay with her."

"Kalau lagi bertengkar, gimana cara ngehadapinya?"

"Awalnya, saling mertahanin pendapat masing-masing, ego masing-masing, tapi akhirnya kami—atau salah satu duluan—sadar kalau bertengkar itu bagian dari hubungan. Namanya berusaha buat nyatuin dua kepala, dua pemikiran, dua ego, dua hati, dan dua-dua yang lain, pasti ada aja formula yang kurang atau bahkan nggak pas. Dicari lagi sambil jalan. Dipikirin lagi sambil saling maafin."

Mas Ardi ngangguk-ngangguk. Setuju sama yang Kafka omongin. "Dulu aku selalu mikir, gimana caranya Ata dapet pacar kalau dia belajar terus, jarang bergaul juga. Waktu ngenalin kamu dan kalian langgeng sampai sekarang, aku jadi mikir lagi. Mungkin emang harus ketemu yang tepat dulu baru bikin Ata betah. Mungkin kamu orangnya, Kaf. Tau kamu nerima dia sebegininya, aku berharap itu nggak sebentar."

"Amin." Kafka senyum. "Aku mau sama Ata terus, Mas. Semoga Ata juga maunya sama aku terus."

Mas Ardi ikut senyum. "Ata itu tipe yang kalau udah punya satu—apalagi cocok dan nggak neko-neko, nggak bakal lihat yang lain."

Kafka belum sempat nyahut karena Ata udah berdiri di depan mereka, lalu muter satu kali. Mamerin kebaya sama jarik yang dia pakai sambil senyum lucu. Tumben banget pacarnya jadi centil gini, tapi Kafka seneng banget. Sama sekali nggak keberatan.

"Bagus?" tanya Ata.

Kafka natap Ata gemes sambil ngangguk. "Kamu bidadari dari kayangan bagian mana? Kok bisa cantik banget?"

Ata tersipu. Pipinya merah. "Apaan sih!"

Mas Ardi langsung ketawa, sedangkan Kafka nyengir.

"Serius. Kamu cantik banget, Taa. Coba kamu ngaca sambil senyum lucu kayak tadi."

Ata cemberut. Pipinya masih merah. "Kafkaaaa!"

Apalagi kalau Ata udah mode manja-lucu-dan-malu-malu gini, Kafka rasanya pengen meluk Ata di kasur sambil nyiumin pipinya yang halus itu.

"Biarian aja, lah, Taa," timpal Mas Ardi. "Namanya cinta."

"Cinta dan karena dia emang cantik banget, Mas. Aku jujur, lho."

Mas Ardi kelihatan takjub meskipun udah denger penjelasan dari Kafka. "Kalau Kafka nggak balik ke sini lagi buat ngelamar kamu, aku pasti jadi yang paling kaget, Taa."

Kafka natap Ata sambil senyum, tapi dia nyahutin Mas Ardi. "Doain aja, Mas. Kalau Ata udah puas nyoba semua yang dia pengen dan puas karena mimpi-mimpinya tercapai, aku pengen bikin keluarga sama dia."

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang