➖ Alternative Way

1.8K 202 10
                                    

Sehari setelah pingsan di sekre, Ata masih punya jadwal kuliah. Liburnya baru besok. Karena berhasil milih kelas di waktu-waktu yang lumayan strategis, Ata jadi punya jadwal libur sehari tiap minggunya—selain weekend.

Jadi, hari ini dia masih ke kampus. Kafka udah ketar-ketir dari pagi meskipun kelas Ata baru mulai siang sampai sore. Sorenya, dia dijemput Kafka.

Kafka yang panikan, makin-makin paniknya. Karena Kania—yang paling telaten ngerawat orang sakit—lagi pulang ke rumahnya yang jarak satu kota doang, Ata oke-oke aja diajak ke tempat Kafka sore ini. Jani ngajar di sanggar tari dan Ata nggak mau ganggu waktunya. Ketty sama Arum bisanya diandalin buat marah-marahin orang yang jail ke Ata, nggak bisa kalau ngerawat—apalagi telaten kayak Kania.

Waktu nganterin Ata ke gerbang fakultas, Ketty masih sewot ke Kafka. Arum juga sama, tapi nggak sambil ngomel sinis. Kafka sabar aja ngadepin mereka, padahal Ata udah takut kalau cowok itu tersinggung.

"Taa, mandi dulu terus tidur."

Ata ngangkat kepalanya sebentar dari bantal sofa, lalu tiduran lagi. Kafka baru keluar dari kamarnya dan wangi banget. Wangi sabun, sampo, dan parfum yang kalau dicampur begini—dan apalagi dari badan Kafka, wanginya bikin Ata pengen lompat ke pelukan cowok itu. Tapi, nggak buat sekarang. Dia pusing. Kalau nggak ada presentasi kelompok yang nggak bisa dituker gilirannya, Ata mungkin udah bolos supaya bisa tidur seharian.

Belum lagi, badannya lemes dan persendiannya ngilu. Efek demam selalu begini.

"Iya, bentar." Ata narik jaket Kafka di lengan sofa dan jadiin selimut buat kakinya yang setengah beku. AC di apartemen Kafka harusnya nggak dingin-dingin banget. "Sepuluh menit lagi, ya. Bangunin kalau aku ketiduran."

Kafka jongkok di depannya, bikin Ata nggak jadi merem. Tangannya yang dingin ngusap pipi Ata. "Kok demam lagi?" Mulai, deh, paniknya.

"Kan emang masih demam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kan emang masih demam." Ata ngecup bibir Kafka yang dingin dan rasa mint.

Kafka terang-terangan nunjukin raut khawatirnya. "Besok libur, kan? Periksa lagi, ya."

"Ngapain? Obatnya masih banyak."

"Tapi itu dari klinik."

Dahi Ata berkerut. "Terus?"

"Apalagi itu klinik kampus. Semuanya serba terbatas. Obatmu aja cuma obat yang biasanya kamu minum kalau lagi demam. Jangan-jangan, mereka meriksanya juga pakai teknik kira-kira."

"Mulai, deh, sok taunya." Ata nyubit hidung Kafka pelan. "Kalau demam, emang obatnya itu. Kamu maunya aku minum obat apa? Nggak ada ya, obat yang bikin sembuh dalam hitungan detik kayak di iklan-iklan. Kamu nih, yang sukanya pakai teknik kira-kira."

Kafka cemberut. Prinsipnya Kafka itu, kalau sakit, ya ke rumah sakit. Apalagi sampai pingsan—kayak Ata kemarin. Rumah sakitnya yang terpercaya dari segi tenaga medis dan peralatan, kalau bisa yang tipe A. Ke rumah sakit tipe B kalau kepepet. Sementara prinsipnya Ata itu, selama sakitnya bisa diobatin sama obat yang itu-itu aja—tanpa harus periksa ke rumah sakit segala, semua beres. Kesenjangan ini nggak selesai-selesai. Ata jadi capek sendiri.

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang