➖ Burning slash Blushing

1.7K 184 10
                                    

Siang ini, Ata nyamperin Kafka ke kantornya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang ini, Ata nyamperin Kafka ke kantornya. Ya, sabtu begini, dia masih kerja. Konsultan teknik tempat dia kerja, ngasih libur minggu doang. Ah, sabtu juga. Karena kerja cuma setengah hari dan jam dua siang udah boleh pulang. Jadi hitungan liburnya setengah hari. Lumayan buat pacaran siang-siang, katanya Kafka.

Sejak lulus dan punya ijazah, Kafka nggak lagi jadi freelancer. Dia pengen punya penghasilan tetap selagi nyiapin diri buat lanjut sekolah S2. Dan, jadilah sekarang dia kerja di konsultan teknik yang namanya belum besar-besar amat, tapi ngutip dari kata-kata Kafka—lagi, "gajinya lumayan."

Sebenernya tanpa Kafka kerja pun, alias ongkang-ongkang kaki sambil nyiapin S2, duit ngalir terus ke rekeningnya. Keluarganya tajir melintir. Waktu akhirnya lulus, Kafka diminta Papanya bantu-bantu manajemen perusahaan sebelum sekolah lagi. Tapi karena Foodies, perusahaan turun-temurun itu bergerak di bidang makanan olahan, Kafka nolak mentah-mentah karena sama sekali nggak linier sama apa yang selama ini dia pelajari di kampus.

Ya, Ata juga ngerti. Pasti ujung-ujungnya Kafka jadi tukang fotokopi atau bantu ngetik-ngetik gampang atau mungkin nggak ada yang mau nyuruh dia karena dia anak yang punya kantor, dan karena dia nggak punya keahlian manajemen meskipun itu bisa dipelajari siapa aja. Karena itu, Ata ngasih dukungan penuh buat Kafka. Waktu Kafka nentang keinginan mama-papanya. Waktu Kafka ngelamar kerja di konsultan teknik. Waktu Kafka terancam nggak dapet uang jajan karena mama-papanya ngambek, dan dia udah mulai nyari kos karena bisa aja apartemennya ditarik sewaktu-waktu. Tapi karena dia anak bungsu yang disayang-sayang, dan mamanya cuma tahan ngambek dua minggu, nggak ada drama dia dicoret dari kartu keluarga. Malah, rekening dia makin gemuk aja.

Oke, segini dulu cerita soal Kafka. Sekarang Ata harus fokus nemuin gedung kantor Kafka sebelum kulitnya gosong.

Kafka udah ngelarang dan bakal jemput dia di kampus. Ya, Ata ngampus Sabtu begini demi dapetin judul buat tugas proposal di mata kuliah metode penelitian. Dia nongkrong di perpustakaan persma setengah hari bareng Mas Dio. Ditemenin, lebih tepatnya. Karena dia dengan begonya nanya kunci sekre ke Mas Dio padahal kunci itu selalu ada di kotak surat depan pintu. Karena nggak mau ada acara Kafka-ngambek-karena-tau-Ata-ditemenin-Mas-Dio-setengah-hari-dengan-sengaja, dia yang nyusulin Kafka ke kantornya.

Setelah jalan di trotoar yang sempit dan ramenya bikin meringis, Ata sampai di gedung kantor Kafka. Gedungnya nggak tinggi-tinggi banget. Katanya Kafka, ada empat lantai. Bangunan baru dan minimalis.

Baru aja Ata masuk ke pelataran gedung, dari jauh dia lihat Kafka jalan bareng temennya. Cowok.

"Taa!" Kafka teriak heboh sambil dadah-dadah kayak anak SMP ketemu gebetan. Dia girang banget karena disamperin Ata ke kantornya. Padahal tadi di-chat nolak-nolak mulu.

Ata jadi malu sendiri. Temen Kafka senyum-senyum lihat dia. Mereka ngobrol sebentar, lalu Kafka jalan ke arah Ata yang udah neduh di pos satpam yang kosong.

"Aku baru tau kalau disamperin pacar ke kantor rasanya nyenengin." Kafka masih kelihatan girang. Senyummya lebar. Ata jadi ikutan senyum. "Tapi ... bentar. Pipi kamu merah banget. Kepanasan? Ke sini naik apa?"

"Jalan." Ata nyengir. Dia buru-buru nambahin sebelum Kafka ngomel, "Sayang ongkosnya, Kaf. Deket, kok. Setengah kilo doang."

"Tapi aku lebih sayang kamu daripada sayang duit sepuluh ribu buat bayar ongkos gojek." Mulai nih. Ata langsung nyiapin kuping. "Besok-besok, nggak kayak gini lagi. Kan tinggal bilang aku, kalau nggak punya ongkos. Kamu belain-belain pake skincare pagi-siang-malem biar kulitnya sehat, biar glowing, tapi malah panas-panasan gini. Mana ini merah banget." Kafka nyentuh pipi Ata sekilas. "Sakit?"

"Nggak, cuma panas."

"Itu namanya sakit, Sayang." Kafka berdecak-decak.

"Jadi masalahnya, kamu takut aku nggak glowing lagi?"

"Takut kamu sakit. Aku punya tiga kakak—cewek semua. Heboh kalau keluar nggak naik mobil dan kena panas dikit. Mereka hobinya nyerocos soal beginian. Jadi aku nggak buta-buta amat. Ini merah-merah, kulit kamu kebakar?"

Sekarang pipi Ata panas bukan karena kebakar panas matahari, tapi karena blushing. Kafka nggak lagi ngalus. Ata ngerti. Tapi tetep aja dia nggak bisa nahan buat nggak tersipu dan malu-malu kucing.

"Hm ... mungkin. Tapi aku pakai sunscreen, kok." Ata senyum manis. Nyari ide buat ngalihin pembicaraan. "Makan, yuk? Aku laper banget."

"Oke. Tapi besok-besok, jangan diulang."

"Iyaaaa."

"Bener, ya?"

"Beneeeeer."

"Kalau diulang?"

"Kamu bisa cubit aku." Ata nggak punya ide yang lebih oke daripada ini.

"Enakan cium," katanya sambil gandeng Ata ke parkiran mobil.

Ya, ya. Terserah kamu, lah, Kaf.

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang