➖ Lip Cream

1.6K 184 3
                                    

Setelah makan malem, Kafka ngajak Ata ke mall. Biasanya, dia buru-buru pulang cuma buat melukin Ata di sofa apartemennya. Kali ini, pengecualian. Dia baru gajian. Mukanya semringah. Kayak baru pertama kali megang duit banyak. Kafka selalu bilang, nerima uang dari hasil kerja sendiri itu senengnya minta ampun. Ata bisa paham.

Ini juga karena sore tadi, Kafka lihat dia kehabisan lip cream. Ata emang belum sempat beli dan Cuma ada lipstick yang dibeliin sama Kak Winda di pouch make upnya. Mereka masuk ke store kosmetik tempat biasanya Ata beli skincare dan make up.

Produk lip cream favoritnya nyediaan shade lengkap, tapi Ata belum dapet kiriman uang jajan dari orang tuanya. Cuma sisa buat makan, beli satu lip cream, dan beberapa masker. Dia nggak mau bilang ke Kafka karena pasti pacarnya ngirim uang lagi. Sebenernya masih ada uang dari Kafka minggu lalu, tapi pantang buat Ata pakai itu kalau nggak bener-bener terdesak.

Ada dua shade yang pengen banget dia beli, tapi uangnya cuma cukup beli satu, dan itu bikin dia bingung.

"Menurutmu, bagus yang mana?"

Meskipun jarang komentar, Kafka punya selera yang bagus di banyak hal. Dan selain dirinya sendiri, Kafka yang bakal sering lihat Ata pakai lip cream, jadi dia butuh saran dari cowok itu.

Dahi Kafka berkerut. "Warnanya sama."

Ternyata, selera-Kafka-yang-bagus itu nggak bekerja di warna lip cream. "Beda, Kaf." Ata ngambil sample di rak paling tengah, ngolesin dua pilihannya ke punggung tangan. "Nih, beda, kan? Kamu suka yang mana?"

Kafka kelihatan serius selama beberapa detik sebelum ngomong, "Sama, Sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka kelihatan serius selama beberapa detik sebelum ngomong, "Sama, Sayang."

Ata garuk-garuk pelipis. Sekarang, cuma dia yang bisa mutusin harus-beli-shade-yang-mana.

"Kamu suka yang mana?" tanya Kafka waktu dia bacain satu-satu shade yang dipajang di rak.

Ata mikir sebentar. "Bingung."

"Berarti suka semua?"

Kalau Ata jawab iya, pasti Kafka nyuruh dia beli semua. Dia udah hafal mampus sama formula itu. Jadi dia nggak jawab dan ngambil shade yang biasa dia pakai.

"Kalau kamu suka semua, ya dibeli dua-duanya." Kafka ngambil satu shade yang tadi dipegang Ata. Meriksa sekali lagi, sebelum ngulurin ke Ata. Meskipun nggak bisa bener-bener bedain warnanya, ternyata Kafka baca juga.

"Nggak, deh. Satu aja. Nanti nggak kepakai." Dia naruh lip cream pilihannya ke tas belanja dan buru-buru ngajak Kafka ke rak masker.

"Kalau ada, pasti dipakai," jawab Kafka sambil ikut naruh lip cream yang dipegangnya ke tas belanja Ata. "I'll pay the bill."

Mantra itu keluar lagi dan bikin Ata mules. Ata langsung noleh ke Kafka dan natap cowok itu galak. "Nggak."

Tapi Kafka cuek aja dan ngerangkul Ata ngelewati rak body care ke rak masker. Tempat kesukaan Ata yang lain. "Ya udah, uangnya aku ganti."

"Sama aja, ih!"

"Makanya. Kamu dikasih yang gampang, malah milih yang ribet."

Ata cemberut. Tau kalau dia nggak bakal bisa nolak lagi, entah apa pun caranya. "Bayar lip creamnya aja, lho."

"Dua-duanya? Oke."

Tuh, kan. Ata nggak dikasih kesempatan buat nawar.

"Kalau kamu beli masker lebih dari tiga, aku yang bayar."

Ata noleh ke Kafka dan cemberut. Kafka nyengir. Tau banget kalau Ata suka ngeborong masker di store ini karena harganya ramah di kantong mahasiswa kayak dia.

"Sengaja, kamu, ya?!"

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang