➖ Overprotective

2.1K 193 5
                                    

"Taa, makan malemnya apa? Pengen apa? Di rumah lagi nggak masak. Mama-Papa makan malem bareng keluarganya Kak Satrio. Jadi aku nggak bisa minta dikirimin makanan. Kamu mau dibeliin bubur? Sup? Soto ayam? Dimsum?"

Tiap sakit, Ata selalu pengen dibeliin makanan rumahan, alias menu-menu sederhana kayak nasi disiram sayur kacang panjang, lauknya tongkol pelas. Atau sayur bayam dan peyek udang. Bisa juga sayur sop dan ayam kecap. Karena sering kesusahan nyari makanan rumahan kayak yang Ata mau, Kafka sering request ke ART di rumahnya pas Ata sakit. Jadi sampai sembuh, treatmentnya dia itu makanan kiriman dari keluarga Kafka. Keluarga Kafka yang tajir itu penganut makanan rumahan yang serba sederhana. Bukan yang tiap hari keluar masuk restoran berbintang. Katanya Kafka, mama-papanya takut diabetes dan kolesterol dini. Ya, masuk akal juga.

Ata noleh sebentar. "Bubur aja, deh. Ada?"

Kafka ngangguk, lalu sibuk sama HPnya lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka ngangguk, lalu sibuk sama HPnya lagi.

Malem ini, karena masih punya tugas setumpuk, Ata tetap nggak bisa istirahat meskipun udah di apartemen Kafka yang super nyaman. Kafka nyuruh Ata ngerjain tugas-tugasnya di kasur. Disiapin meja pendek dan dipinjemin laptop punya Kafka yang nggak pernah lemot, biar cepat selesai ngerjain tugas-tugasnya.

"Ngetiknya nggak bisa nyantai, Sayang?" Belum ada satu menit, Kafka ngomong lagi. "Kayak orang kelurahan aja."

Ata melongo. Omongan pacarnya mulai random. Ata milih nggak bales. Ata punya banyak tugas dan ngobrol adalah hal terakhir yang mau dia lakuin sekarang.

Belum kelar Ata ngetik satu paragraf, Kafka bersuara lagi.

"Tangan kamu masih nyeri? Mau dikompres lagi bekas infusnya?"

Ata terpaksa noleh lagi ke Kafka. "Nggak, udah mendingan, kok."

Kafka ngangguk dan sibuk sama HPnya lagi. Pasti sibuk pesan makan malam dengan semua syarat ribet yang cuma dilakuin Kafka. Tanpa bawang goreng di bubur ayam Ata. Ayamnya dipisah, kalau bisa. kuahnya juga dipisahin, ini harus. Dan masih banyak lagi. Ata nurut aja. Salahnya juga pernah ngeluh soal ini. Pernah kejadian pas delivery bubur ayam. Pas sampai apartemen Kafka, isinya berantakan. Berasa diaduk setengahnya. Ata jadi nggak nafsu makan lihat itu bubur.

Kalau Kafka hobinya ngaduk bubur sebelum dimakan, Ata anti banget. Dia bukan golongan orang-orang yang makan bubur diaduk.

"Masih pusing? Ngetiknya sambil sandaran, Sayang." Belum lama, Kafka ngomong lagi. HPnya udah ditaruh di nakas. Sekarang, Kafka sibuk nyusun bantal-bantal supaya nyaman buat sandaran Ata. Ata nurut aja waktu Kafka minta dia mundur dan sandaran ke bantal-bantal yang udah dia siapin, lalu lanjut ngetik.

Sekarang, Kafka beranjak. Ata hampir lega kalau aja Kafka nggak berdiri di dekatnya, lalu nempelin punggung tangan di dahi Ata. "Masih hangat. Dikompres lagi, ya?"

Ata rasanya pengen gigit Kafka sekarang sakit keselnya. "Aku, kan, masih ngerjain tugas." Tapi dia berusaha sabar. Kafka masih panik setelah tau Ata pingsan, meskipun sekarang dia udah bisa duduk di depan laptop dan ngerjain tugas.

"Katanya Kak Irina, bisa pakai plester penurun demam. Barusan aku beli, masih dianterin."

Sabar, Taa, sabar. "Dipakai nanti aja, sebelum tidur. Kalau sekarang, aku bisa nggak fokus. Mendingan kamu mandi daripada gangguin aku."

Kafka nyengir. Dia masih pakai kemeja yang sama, yang dibuat sandaran Ata pas nangis sore tadi. "Aku nunggu bubur sama plester demamnya sampai."

"Aku yang bakal ngambil ke bawah." Ata tau ini hampir nggak mungkin dengan keadaannya yang sekarang. Jangankan ke lobi buat ambil makanan, jalan dari kasur ke lemari aja, Kafka ngikuti di sampingnya. Nungguin dia ngeluarin piama yang sengaja dia simpan di lemari Kafka—kalau-kalau dia nginap dan nggak bawa baju ganti. Lalu nungguin Ata ganti baju di depan pintu kamar mandi—posisinya Kafka ngasih punggung doang.

"Jangan harap." Dahi Kafka berkerut.

"Oke, tapi sekarang kamu mandi. Kemejamu ada bekasnya nangisku. Taruh di gantungan, besok aku yang cuci."

"Itu juga, jangan harap."

Ata cemberut. "Iya, deh, iyaaa. Udah sana mandi. Nanti aku minta satpam yang anter ke sini. Kamu udah pesenin satu lagi?" Kafka punya kebiasaan pesan makan dan minta satpam yang antar ke unitnya. Gantinya, dia bakal kasih fee yang harusnya nggak perlu, tapi selalu dia lakuin. Entah rokok, uang buat beli makan di seberang jalan, atau dipesenin makan sekalian.

"Udah aku beliin, tapi biarin makanannya di bawah dulu. Abis mandi, aku yang turun. Kalau udah sampai, kamu klik fee-nya." Selain rajin ngasih fee ke satpam apartemen, Kafka juga rajin ngasih fee ke driver layanan pesan antar makanan.

"Kenapa kalau dianterin ke sini aja? Aku bisa ngambil, kok. Kan sebentar. Nggak bakal pingsan lagi."

Kafka tetap nolak ide Ata. "Dititipin ke satpam dulu, Sayang. Aku yang ngambil ke bawah."

"Ribet, Sayangnya Ataaaa." Sebenernya, Ata gemes pengen nyubit Kafka. Tapi, biasanya lebih manjur bikin Kafka ngalah dengan ngerayu. "Makanannya keburu dingin. Lebih efisien dianterin, terus aku siapin sambil nunggu kamu selesai mandi. Oke? Janji, abis ngerjain tugas dan makan, aku bakal istirahat. Aku juga mau dikompres pakai plester demam."

"Kalau kamu tawar-tawaran kayak gini, jatuhnya emang ribet." Ekspresi Kafka langsung kecut. "Kamu cuma perlu duduk, nunggu, aku yang siapin makanannya. Lebih oke, kan?"

Ata pengen bilang kalau dia cuma abis pingsan dan sekarang keadaannya udah mendingan, kakinya nggak kenapa-kenapa dan dia bisa jalan. Tapi pasti Kafka bales pakai kata-kata yang nggak bisa ditebak.  Kalau lagi khawatir, Kafka bisa tiba-tiba random dan bikin Ata melongo. Jadi, Ata ngangguk aja. Ngalah.

"Mandi sekarang sebelum aku turun dari kasur dan ngambil makanannya ke lobi." Cuma itu yang bisa Ata bilang ke Kafka.

Kafka diam sebentar, ngelihatin Ata, lalu nunduk dan ngecup pelipis Ata singkat. "Kalau udah sembuh, nggak bakal aku larang macem-macem."

"Jadi boleh macem-macem?"

Bibir Kafka ditekuk. Ata ketawa pelan. "Iya, paham. Paham bangeeeet. Buruan mandi, biar aku bisa peluk kamu abis makan."

"Sekarang sebenernya juga bisa."

"Mandi dulu."

"Oke, jangan ke mana-mana."

"Iya."

"Beneran, ya?"

"Iyaa."

"Sandaran. Nggak usah tegang ngetiknya. Biar nggak capek."

"Iyaaa, Kaf."

"Kalau—"

Ata sebel. "Mandinya kapan, siiiiih?"

Kafka ketawa dan buru-buru beranjak ke kamar mandi di sudut kamarnya. "Oke, mandi. Love you!"

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang