➖ Storm (3)

2.4K 271 65
                                    

"Habis dari mana aja, sih?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Habis dari mana aja, sih?"

Kafka nyengir waktu Kak Irina bukain pintu apartemennya buat dia dan Kak Satrio siang ini. Sengaja nggak nyahut. Kafka nyelonong masuk setelah ngecup pipi kiri kakaknya yang kelihatan siap ngomel.

"Dari mana, Mas?" Sekarang, Kak Irina melototin Kak Satrio. "Tenis? Golf? Balapan? Bowling?"

"Golf, abis itu balapan," jawab Kak Satrio kalem sambil ikut masuk ke apartemen Kak Irina. Udah ada Kak Winda, Kak Jessy, dan Jeric di ruang makan. Nggak lama, Ardan yang dari kamar mandi, ikut gabung duduk di samping Kak Jessy.

"Bagus." Kak Irina sinis banget ke Kak Satrio yang selalu kalem. Kafka jadi ngerasa bersalah. "Besok balapan lagi, ya? Pakai mobil-mobilmu buat ngeladeni manjanya Kafka, ya?"

Setelah ngambil sebotol air mineral dari kulkas, Kafka noleh ke Kak Irina yang sekarang duduk di kursi kosong sebelah Kak Winda. Sementara Kak Satrio ngikutin dia buat ngambil sebotol jus buah naga.

"Jangan marah-marah sama Kak Satrio," bela Kafka setelah ngabisin setengah botol air mineral di tangannya. Lalu, dia naruh botolnya di atas meja. "Aku yang manja, jadi aku aja yang diomelin."

Kak Irina melotot galak ke Kafka. Nggak bakal ada yang mau ngeinterupsi kanjeng ratu satu ini kalau udah marah-marah, kecuali Kak Satrio. "Duduk di depanku, Kaf."

Ardan sama Jeric langsung berdiri. Mereka ke ruang santai buat main Playstation—PS—bareng. Kak Satrio nyusul setelah ngebisikin Kak Irina dan ngecup pipi cewek itu. Kafka nggak denger apa-apa, tapi kalau lihat dari rautnya Kak Irina yang agak kalem, Kak Satrio pasti ngomong sesuatu yang bikin kakaknya itu lebih sabar.

Kafka nurut meskipun dia lebih pengen main PS.

Sekarang, posisinya Kafka kayak lagi disidang. Kakak-kakaknya duduk sejajar. Dia duduk di depan mereka bertiga.

Ini kenapa, sih?

"Aku nggak ngerti kenapa kamu bego banget."

Baru pembukaan dan Kafka langsung bingung. "Ya ampun, Kak. Perkara balapan aja, kamu emosi sampai segininya. Aku balapan pakai Ferrari-ku, bukan minjem Audi-nya Kak Satrio. Tanyain aja ke—"

"Aku nggak lagi ngomongin soal kegiatanmu sama Mas Satrio!" sela Kak Irina tajam.

Kafka diam sebentar, mulai paham sama apa yang bakal mereka omongin. Apalagi, minus cowok-cowoknya mereka. Kalau udah ngomong berempat, berarti krusial. Dan krusial versi kakak-kakaknya tiga minggu terakhir itu: Ata.

"Aku udah bilang kalau aku belum mau ngomongin soal Ata. Aku masih butuh waktu." Kafka mau berdiri dan gabung main PS di ruang santai. Tapi begitu lihat Kak Jessy melengos sinis, dia tetap duduk. Kak Jessy nggak pernah emosi banget. Kafka nahan diri buat nggak nyari masalah sama kakak kesayangannya yang super cerewet itu.

"Kasih aja, lah, Kak. Nggak usah ditahan-tahan. Dia juga nggak bakal sadar salahnya kalau belum ditampar kenyataan," kata Kak Jessy.

Kak Winda ngeluarin tas plastik hitam dari tote bag-nya dan naruh di tengah-tengah meja. Rautnya pasrah banget. Tipikal Kak Winda kalau udah capek ngeladeni Kafka yang kebanyakan tingkah. "Dari Ata."

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang