➖ Unconditional Love

1.9K 244 18
                                    

Karena nggak tahan sama ocehan Kafka yang ngajak makan siang terus, Kak Irina batalin rencana lihat pertunjukan seni sampai jam tiga sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena nggak tahan sama ocehan Kafka yang ngajak makan siang terus, Kak Irina batalin rencana lihat pertunjukan seni sampai jam tiga sore. Padahal cowok itu nggak berhenti ngemil bareng Kak Jeric dari pagi. Mereka keluar dari GWK jam dua siang dan langsung ke restoran paling dekat dari sana. Kegiatan ini nggak ada di itinerary mereka dan Ata sebenernya masih kenyang karena disodorin makanan terus sama Kafka dari pagi sampai siang, tapi susah banget nolak si bungsu kalau udah punya mau.

Meskipun di luar rencana, acara makan siang yang terlambat ini tetap proper, menurut Ata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meskipun di luar rencana, acara makan siang yang terlambat ini tetap proper, menurut Ata. Kak Satrio berhasil pesan meja yang besar. Udah ada banyak makanan di meja waktu mereka sampai. Ata paham kalau Kak Satrio nggak pernah setengah-setengah buat Kak Irina dan keluarganya. Yang nggak Ata duga, mereka nggak makan berdelapan doang. Ada temen-temennya Kak Satrio sama Kafka. Ata pasti udah pernah bilang kalau dari pacar-pacar kakaknya, Kafka paling akrab sama Kak Satrio. Mereka bahkan berbagi teman. Nggak heran kalau Kafka hobinya ngekorin Kak Satrio ke mana-mana.

Dan yang jadi masalah, temen-temen Kafka bawa pacar mereka yang kinclong. Ata harus bilang, kalau sekarang, cuma dia yang lusuh.

Hari ini, karena itinerary mereka outdoor—nanti sore ke pantai, Ata pakai make up seadanya. Sunscreen, bedak, blush on, lipcream. Dia juga yakin kalau make up-nya sekarang udah luntur karena kena keringat, debu, panas matahari, dan ngemil setengah hari.

"Kaf ...." Ata nyolek Kafka yang duduk di sampingnya. Dia udah berusaha percaya diri dengan nggak mikirin mukanya yang lusuh dan sama sekali nggak cocok di samping Kafka, tapi nggak berhasil. Makin dia lihat cewek-cewek di sekitarnya, makin dia ngerasa dia nggak layak dan harusnya dia benerin make up dulu sebelum duduk di samping Kafka.

"Apa?" Kafka noleh ke Ata tanpa bikin dia nunggu.

Kafka nggak pernah lupa kalau Ata ada di sampingnya, meskipun cowok itu asyik ngobrol sama temen-temennya, pacar kakak-kakaknya. Itu bikin Ata tersanjung. Karena berarti Kafka ngehargai keberadaan dia.

"Aku mau ke kamar mandi sebentar, boleh?" bisik Ata, begitu mereka selesai makan siang dan sekarang lagi ngobrol sambil makan ice cream. "Aku mau benerin make up, biar nggak lusuh banget."

Dahi Kafka berkerut. "Lusuh dari mana, sih?"

Ata hampir melongo. Sambil tetap bisik-bisik, Ata nyahut, "Ya ... kamu lihat aja kalau dibandingin sama—"

"Mulai, deh." Kafka ngecup pelipisnya. Iya, di depan kakak-kakaknya, temen-temennya. Ata mau pingsan rasanya. "Udah, lah, Sayang. Cantik gini, kenapa minder terus?"

Kafka, jangan gini. Aku malu ....

"Ouw." Ata nggak berani noleh ke asal suara yang kedengaran kaget sekaligus gemas.

"Kafka kalau udah sama Ata emang suka lupa daratan." Kak Jessy geleng-geleng sebel, tapi langsung senyum gemas ke Ata yang lagi malu, tersipu, dan apa pun sebutannya itu.

Kafka ngerangkul Ata sambil senyum-senyum ganteng. "Kenapa, sih, Kak Jess? Iri mulu. Makanya duduk deketan sama Ardan biar bisa rangkul-rangkul."

Kafka ... udah, dong! Jangan bikin aku jadi pusat perhatian.

"Aku udah lihat foto-foto kamu di Instagramnya Kafka, Taa." kata Kak Ajeng, perempuan dengan spesifikasi bidadari—saking cantiknya, yang duduk persis di seberang Ata. "Ternyata, kamu jauh lebih cantik daripada di foto."

"Pantesan waktu golf di Bintan dua tahun lalu, Kafka nggak mau dikenalin ke Maria. Diajak makan siang bareng, juga nggak mau. Padahal gue udah booking tempat."

"Maria? Maria yang mana?"

"Siapa lagi, sih, Maria yang kenal sama Gavin?"

"Wow! Maria Ghaniyuva? Maria yang ... itu?"

"Nggak usah heran, dong! Pawangnya Kafka nggak kalah cantik dan nyenengin."

"Maria-nya gimana?"

"Nyari, lah! Maria ke Bintan karena pengen ketemu Kafka, tapi dia malah kabur. Jadi gue sama Satrio yang kalang kabut nyari alasan."

"Harusnya dulu gue bilang kalau cintanya Kafka udah berhenti di Ata."

"Meskipun mulut dia pedesnya sebelas-dua belas sama cabe, Kafka tuh setia!"

Astaga ....

Ata baru dengar yang ini. Dia tahu Kafka sering dikenalin ke para perempuan pilihan mama dan papanya, waktu mereka masih belum sampai di tahap buat lebih saling kenal. Tapi dia nggak nyangka kalau Kafka pernah nolak Maria, meskipun secara nggak langsung.

Maria Ghaniyuva. Supermodel. Putri sulung bos Ferrari. Awal tahun ini, namanya trending di hampir semua media sosial setelah dia jadi juru bicara perwakilan negara di acara lima tahunan organisasi supranasional.

Ata nggak ada apa-apanya dibanding perempuan yang Kafka tolak ini. Jelas.

Waktu Ata berusaha nampung semua infomasi itu, Kafka ngerangkul dia dan ngusap lengannya lembut.

"Gue nggak tertarik sama Maria dan semua cewek-cewek di circle-nya dia yang bikin Papa dikit-dikit ngajak golf supaya bisa PDKT—dua tahun lalu, karena gue udah punya semua yang gue cari. Bahkan lebih." Kafka santai banget ngomong begitu waktu Kak Indira nanya, apa alasan Kafka yang sebenernya. Bikin tatapan semua orang di meja ini teralih ke Kafka dan Ata. "I wanted unconditional love, and Ata gave it to me ... beyond my expectation."

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang