➖ Warmth

1.6K 211 4
                                    

Jam setengah enam pagi, meskipun masih capek, Ata udah duduk di meja makan bareng bapak dan ibu. Kebiasaannya tiap pulang. Minum teh dan ngemil sambil nunggu setengah jam lagi sebelum bikin sarapan. Biasanya, full team. Hari ini jadi pengecualian. Mas Ardi dan keluarga kecilnya masih tidur. Mbak Tyra dan suaminya udah bangun tadi, tapi masuk kamar lagi.

“Kafka hari ini mau sarapan apa, Taa?”

Ata noleh ke ibu yang baru ngeluarin ayam mentah beku dari freezer, biar bisa diolah setengah jam lagi. “Kafka nggak rewel makannya, Bu. Asal nggak hambar, pasti dimakan.”

“Kafka udah bangun, Dek?” tanya bapak.

Ata ngangguk dan noleh ke bapaknya. “Dia langsung mandi, makanya nggak langsung turun.”

Ata lagi buka segel toples kue lidah kucing yang ketiga di meja makan waktu denger langkah kaki turun dari tangga. Mereka noleh, Kafka masuk ruang makan lalu jalan ke arah dispenser. Karena pagi ini—kayak pagi-pagi sebelumnya—lagi dingin banget, Kafka pakai zipper jacket. Sweaternya ketumpahan es cincau punya Oca waktu cowok itu mangku keponakan Ata semalem. Karena masih dingin banget, Ata minta Kafka mandi agak siang aja, tapi cowok itu nggak nurut. Kafka nggak mau keluar kamar kalau nggak mandi dulu.

“Pagi, Pak, Bu,” sapa Kafka. Dia ngambil gelas di rak, lalu noleh ke Ata dan senyum. Kayak lagi di rumahnya sendiri. Nggak canggung lagi kayak kemarin-kemarin. Ata seneng lihatnya. Apalagi waktu bapak minta Kafka gabung bareng mereka dan ibu langsung nawarin teh hangat buat cowok itu.

“Minum air hangat aja, Bu,” tolak Kafka halus.

Ata heran. Kafka jarang minum air hangat. Dia baru sadar kalau suara cowok itu serak. Begitu Kafka gabung dan duduk di kursi di sampingnya, Ata juga baru sadar kalau hidung cowok itu merah.

“Kamu pilek, Kaf?” Ata nempelin punggung tangannya di dahi Kafka. Hangat. “Pusing?”

“Kedinginan, terus bersin-bersin.” Kafka lalu minum air hangat yang dia ambil dari dispenser kayak lagi minum air dingin—favoritnya. Ata makin heran, sekaligus khawatir.

"Nggak apa-apa, kok," tambahnya, buat nenangin Ata.

“Kalau nggak biasa tinggal di sini emang jadi gampang flu,” kata ibu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kalau nggak biasa tinggal di sini emang jadi gampang flu,” kata ibu. “Apalagi kecapekan. Dari Jumat, tidurnya Kafka kurang terus, ya.”

“Kafka mau coba minum wedang jahe?” tanya bapak. “Kalau lagi flu, Bapak dibuatin itu tiap pagi sampai sembuh.”

Kafka senyum ragu. Ata paham banget. Kafka agak anti sama minuman hangat, apalagi kalau nggak tepar banget. “Nggak apa-apa, minum air hangat aja cukup, Pak.”

“Kafka nggak suka minum-minum kayak gitu, Pak. Teh aja harus pakai es, biar seger.”

Ibu ikut gabung di meja makan setelah naruh ayam mentah beku di kitchen sink. “Kafka pengen makan apa hari ini? Yang berkuah? Soto ayam? Sup? Kari ayam?”

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang