➖ His Family and The Standard (2)

2K 229 28
                                    

Ata masih sesenggukan waktu dia denger langkah buru-buru, decitan fantofel, ketukan high heels, suara pintu-pintu didorong, sampai ketukan di pintu kamar mandi tempat dia nangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ata masih sesenggukan waktu dia denger langkah buru-buru, decitan fantofel, ketukan high heels, suara pintu-pintu didorong, sampai ketukan di pintu kamar mandi tempat dia nangis.

"Taa ...." Suaranya Kafka.

Ata makin sesenggukan. Dia yakin, Kak Jeric bakal ngasih tau Kafka, tapi dia nggak tau bakal secepat ini.

"Kamu denger aku, Taa? Buka pintunya, ya?"

Ata nggak sanggup berdiri. Kakinya lemes banget. Sekarang dia duduk di kloset yang ditutup.

"Tunggu dulu, Kaf." Suara Kak Irina.

"Tunggu gimana lagi, Kak?" Sekarang, ganti suara Kafka yang panik. Ata bisa yakin cowok itu lagi nahan emosi. "Ini pintu kenapa setelannya susah didobrak, sih!"

Kafka ngetuk pintunya lagi.

"Kaf, kamu malah bikin Ata makin panik." Kak Irina masih kalem. "Sabar dulu."

"Ata udah di sini sepuluh menit, waktu harusnya aku nggak bikin dia nunggu." Kafka ngetuk pintu kamar mandi lagi. Makin nggak sabaran. Kafka hafal, tiap lagi nangis, Ata bakal mojok sampai dia kuat berdiri lagi. "Taa, kalau kamu nggak kuat berdiri buat buka pintunya, pastiin kamu jauh dari pintu."

Ata masih berusaha ngehapus air matanya waktu dia denger pintu di depannya ditendang satu kali. Kenceng banget. Tapi pintu ini bukan jenis pintu toilet umum yang ditendang sekali bikin engselnya lepas. Bilik ini juga bukan kayak bilik di toilet umum yang dipisahin triplek tipis, yang suara napas aja kedengeran sampai bilik sebelah.

"Kafka!" Kak Irina yang hampir selalu kalem, jadi panik sekarang.

"Aku jarang nyari masalah. Papa nggak bakal keberatan kalau aku cuma ngerusakin satu pintu kamar mandi."

Kafka dan kartu 'bungsu'nya hampir selalu bikin Ata takut. Karena jelas Kafka bisa ngelakuin apa aja, nggak peduli itu hampir nggak mungkin. Kafka punya papa dan mamanya yang bisa ngeiyain kapan aja.

Sebelum Kafka makin nggak terkendali dan beneran ngerusakin pintu ini gimana pun caranya, Ata buru-buru manggil cowok itu, meskipun dia nggak yakin Kafka bakal denger.

"Kafka ...."

Nggak ada jawaban.

"Sebentar," kata Ata lagi. Lebih keras.

Diam sebentar, lalu dia denger Kafka ngomong, "Oke." Nada suaranya nggak yakin.

Ata butuh lebih dari lima menit buat nenangin diri, ngehapus sisa-sisa air mata pakai dua lembar tisu di clutchnya, dan mastiin kalau kakinya udah nggak lemes lagi.

Ata kira, dia udah baik-baik aja waktu buka pintu dan lihat Kafka, tapi ternyata dia salah.

"Ya Tuhan ...." Mukanya Kafka pias banget. Dia berdiri di depan Ata dan bikin Ata nangis lagi.

Ata ngusap pipinya kasar. Dia pasti udah jelek banget, berantakan banget, dan tentu malu-maluin banget.

"Maaf, Kaf." Air mata Ata turun lagi di pipinya waktu Kafka meluk dia. "Maaf bikin kamu malu ...."

"Kamu nggak salah. Sepupu-sepupuku harus minta maaf ke kamu karena mereka lancang." Kafka ngecup puncak kepalanya. "Maaf aku nggak ada di sana dan ngelindungi kamu."

Kafka masih meluk Ata dan ngusap-ngusap punggungnya waktu dia ngomong ke Kak Irina, "Pinjem mobilnya Kak Satrio. Sekalian minta disiapin di lobi, Kak."

Ata ngerti, pasti itu buat antar dia pulang atau malah mereka bakal pulang sebelum acara selesai, jadi Ata buru-buru nyegah. "Nggak usah, Kaf."

"Hm?" Kafka nunduk dan ngecup pelipis Ata.

"Aku bisa pulang sendiri."

Kafka langsung nggak setuju. "Kamu pulang, aku juga pulang."

"Kaf ...."

"Kita dateng barengan, pulangnya juga harus."

Ata nggak punya pilihan. Dia nggak mungkin malu-maluin Kafka—dan keluarganya. Ata nggak mau dia dan Kafka dinyinyirin karena pulang duluan. Karena itu tingkah yang nggak sopan.

"Aku nggak mau kamu ada di sini kalau kamu nggak nyaman. Mama-Papa nggak bakal keberatan kalau kita pulang duluan."

"Nggak ...."

"Mau di sini?"

"Kamu, kan, di sini." Ata ngelepasin diri dari pelukan Kafka. "Tapi ... mukaku jelek banget."

Kafka nyeka sisa air mata di pipinya. "Nggak jelek, cuma sembab. Make up-nya dibersihin, ya?"

Ata ngangguk. Waktu keluar dari toilet, Ata lihat Kak Irina berdiri di depan wastafel sambil megang pouch make up dan skincarenya. Dia senyum ke Ata.

Kak Irina nyodorin sabun muka yang sama kayak punya Ata. Itu karena Ata dibeliin kembaran bertiga, sama Kak Winda dan Kak Jessy juga, yang untungnya cocok.

Waktu Ata selesai cuci muka dan ngeringin wajah pakai handuk kecil yang ada di wastafel—Ata nggak tau kapan Kak Irina nyiapin ini, Kak Jessy datang. Dia langsung meluk Ata.

"Harusnya aku ada di sana bareng kamu supaya bisa nabok mereka satu-satu." Kebalikan sama ucapannya yang penuh emosi, Kak Jessy ngelus punggung Ata lembut. "Maaf, Taa."

Ata sedih, tapi dia agak lega. Seenggaknya, setelah semua sindiran itu, Ata punya Kafka dan kakak-kakaknya yang selalu baik ke dia.

"Nggak apa-apa, Kak Jess."

Kafka masih kelihatan panik sekaligus emosi, tapi dia nggak bisa ninggalin Ata. "Mereka—"

"Udah ditegur sama Kak Winda," sela Kak Jessy, seolah tau apa yang mau ditanyain Kafka. "Aku juga udah minta meja buat sekeluarga. Dari awal minta, nggak langsung dikasih. Begitu diomelin Mama, baru gercep."

"Aku nggak mau di-hall sebelah kiri, isinya nyinyir semua." Kafka kedengeran nggak bisa ditolak permintaannya. "Kalau nggak di depan, ya di sebelah kanan. Kalau nggak ada tempat, aku pulang. Nggak mau tau. Mendingan ngumpul sama orang tua daripada sama sepupu-sepupu kita yang berisiknya minta ampun."

Kak Jessy ngangguk. "Udah, kok. Aku minta di depan, di sebelah mejanya Om Rendra."

Ya Tuhan, aku udah bikin kacau. "Maaf, Kak."

"Kamu nggak salah, Taa." Kak Irina senyum. "Yuk, aku bantu pakai make up lagi."

"Kamu ditunggu Papa," kata Kak Jessy ke Kafka. "Mau dikenalin ke anak temennya Om Rendra."

Mukanya Kafka langsung kecut. "Cewek?"

"Cowok," jawab Kak Jessy.

"Ya udah, tunggu Ata selesai make up lagi."

"Nggak apa-apa, kamu bisa ke sana duluan, Kaf." Ata noleh ke Kafka "Aku bareng Kak Irina sama Kak Jessy."

Kafka diam sebentar, natap Ata, lalu ngangguk. "Oke. Jangan sampai sendirian lagi, ya."

"Iya." Ata senyum. "Makasih ... dan maaf udah bikin malu."

Ata lalu natap Kak Jessy dan Kak Irina gantian. "Maaf udah ngerepotin Kak Irina sama Kak Jessy ...."

Kak Irina dan Kak Jessy ngasih senyum pengertian ke Ata.

Kafka maju satu langkah dan meluk pinggang Ata. Lalu, Kafka ngecup pelipisnya, turun ke pipinya, dan berhenti di bibirnya.

"Jangan kabur dan sendirian kayak gini lagi, Taa. Aku khawatir."

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang