➖ His Back

1.9K 213 10
                                    

Kafka punya punggung yang lebar dan nyaman banget buat disandarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka punya punggung yang lebar dan nyaman banget buat disandarin. Jujur, Ata lebih suka gelandotan di punggungnya daripada nemplok kayak anak kucing di dadanya. Ya, meski nggak lebih hangat, tapi rasanya nyaman banget.

Jadi, tiap ketemu dan tiap punya kesempatan, Ata manfaatin waktunya buat gelandotan di punggung Kafka. Kayak malem ini.

Kafka pulang kerja jam tujuh malem. Tumben banget nggak tepat waktu. Katanya, banyak kerjaan. Ata seneng Kafka banyak kerjaan dan itu berarti dia mulai dipercaya, nggak jadi anak bawang lagi kayak pas awal-awal masuk ke konsultan tempatnya sekarang kerja.

"Kamu kenapa?" tanya Kafka.

"Kangen."

Kafka ketawa pelan. cowok itu lagi nyoret-nyoret kertas HVS—ngitung tepatnya, tapi entah apa yang diitung, juga lagi gambar-gambar di kertas lain. Selain berlembar-lembar kertas HVS yang nggak kosong lagi, ada penggaris yang bentuk macem-macem dan kalkulator scientific. Itu alat-alat 'perang' Kafka yang nggak bakal dia utak-atik dan pegang-pegang. Dia alergi duluan, meskipun di ekonomi juga ketemu hitung-hitungan yang nggak ada angkanya. Yang bentuknya mirip cacing-cacing. Lebih parah lagi.

"Bentar, ya. Aku mau belajar dulu."

Meskipun udah kerja, Kafka tetap belajar sesekali.

Ata ngangguk, tapi tetap nyiumin punggung Kafka yang wangi. Cowok ini kalau pakai parfum berasa yang punya pabriknya. Nyemprotnya nggak pakai mikir. Sebulan bisa beli parfum ratusan ribu sampai lima kali. Beda sama Ata yang beli parfum dua puluh ribuan di minimarket dan beberapa kali semprot aja makainya. Hemat sampai hampir sebulan.

Kafka anteng banget. Nggak peduli Ata lagi clingy gini. Kadang, dia seneng karena itu berarti Kafka nggak gampang kedistraksi hal-hal kecil waktu dia terjun ke passionnya. Tapi kadang dia sebel juga karena dicuekin.

"Laper, nggak?"

"Nggak." Sekarang, Ata ngecup leher Kafka yang sama wanginya. "Kangen aja."

Kafka ketawa lagi.

"Kamu nggak kangen aku?" tanya Ata. Aduh, dia sebenernya geli sendiri karena clingy banget. Tapi dia nggak bisa nyegah dirinya malem ini.

"Kangen, dong!" Kafka ngomong begitu tanpa noleh. Tangannya malah sibuk mencet-mecet tombol di kalkulatornya yang ajaib. Iya, Ata bilang itu ajaib karena dia nggak bisa makai. Buatnya, cuma orang-orang pilihan yang bisa ngitung pakai kalkulator scientific. Sementara Ata bisanya pakai kalkulator beras—yang biasa dipakai penjual di warung.

"Kamu jadi lanjut S2, Kaf?"

Kafka diam sebentar, ngitung lagi sebentar, lalu jawab, "Sekarang aku bingung. Om Ardi pengen aku gabung di konsultannya. Jadi di kantor yang sekarang buat pengalaman aja sebelum masuk ke konsultan yang lebih besar."

Om Ardi itu bungsunya Wangsa. Ata udah dikenalin ke Om ganteng yang mirip banget sama Papanya Kafka di hari ulang tahun cowok ini. Masih muda dan masih betah sendiri. Katanya, seumuran sama Kak Satrio, tapi udah pegang perusahaan-perusahaan besar keluarga.

"Kamu mau?"

"Menurutmu?" Kafka noleh sebentar ke dia, lalu lanjut ngitung lagi.

"Aku dukung apa pun yang kamu mau lakuin, asal itu baik."

"Nggak apa-apa kalau suatu saat aku kerja di perusahaan keluarga?"

Ata heran. "Kenapa harus apa-apa kalau kamu kerja di perusahaan keluarga?"

"You know what I mean, Taa."

Ata diam. Kafka juga. Kafka ngubah posisi duduknya dan mereka tatap-tatapan sekarang. Oke, Ata mulai paham.

Kafka nggak mau Ata insecure.

"Nggak apa-apa. Aku janji bakal ngurangin." Ata senyum.

Kafka ikut senyum. "Aku mau kamu bangga jadi pasanganku, Taa."

Ata ngangguk. "Aku juga mau selalu bangga jadi pasanganmu, Kaf. Tapi, yah ... aku butuh waktu buat ngumpulin keberanian. Nggak bisa instan. Apalagi ... aku baru kenal satu-satu keluargamu, baru tau siapa mereka."

"Aku selalu nunggu."

Kalau lagi serius, nggak kelihatan seberapa ngeselin dan randomnya Kafka. Malah, romantis. Kafka ini satu dari segelintir makhluk Tuhan yang seksi, tapi gombalannya level jongkok—alias receh. Jadi, obrolan serius ini udah cukup romantis buat Ata.

"Selagi kamu buang insecuremu, aku ngumpulin uang buat ngelamar kamu. Malu kalau minta Papa sama Mama."

Kan, baru juga serius.

"Aku masih sekolah, ih!"

Kafka ketawa. "Kan, aku juga masih ngumpulin uang. Nggak sekarang, nggak satu tahun lagi. Masih lama." Lalu, Kafka ngecup bibirnya. "Emangnya kamu mau dilamar sekarang?"

"Ya nggak, Kaaaaf!"

Kafka ketawa lagi. "Iya apa nggak?"

"Nggak dulu! Maksudnya bukan nolak, lho!"

"Jadi kalau aku ngelamar kamu, bakal langsung diterima?"

Ata diam sebentar. "Kan beluuuum. Lamar dulu, baru kamu tau jawabannya yang beneran."

"Sekarang?"

"Kafkaaaa!" Ata cemberut.

Kafka ketawa terus. Sekarang, ketawanya ngeledek banget. "Simulasinya, Sayang."

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang