➖ His New Car

1.6K 195 7
                                    

Minggu siang, Ata main ke rumah Jani bareng temen-temennya. Sementara Kafka balik ke rumah orang tuanya setelah pagi tadi ngajak Ata jogging. Katanya, ada urusan sebentar. Ata iya-iya aja dan nggak nagih janji makan malem berdua setelah seminggu dia jablai di kos karena Kafka sibuk. Mulai sering pulang malem.

Sorenya, waktu mau pulang, Kafka bilang kalau bakal jemput Ata di rumah Jani. Karena Ketty boncengan sama Arum, Ata minta Kania nungguin dia. Kebetulan, Kania lagi nggak dijemput pacarnya. Ata bakal minta Kafka nebengin Kania sebelum mereka ke apartemen cowok itu.

Lima belas menit kemudian, Ata lihat Ferrari dengan warna merah mentereng masuk kompleks rumah Jani. Baru kali ini Ata lihat mobil mewah yang kelihatan baru keluar dari pabriknya—siapa pun bisa bilang Ata norak, saking mulusnya. Tapi waktu sadar yang ngemudiin mobil itu Kafka, Ata melongo. Kania ikutan kaget.

"Taa, pacarmu, tuh?"

Dia yakin, Kania nggak butuh jawabannya. Jadi dia ngawasin waktu Kafka puter balik di lapangan seberang rumah Jani yang kalau pagi fungsinya buat main anak-anak kecil. Tiap sore, kompleks rumah Jani bisa dibilang sepi. Jadi Kafka dan mobilnya yang mencolok itu nggak jadi tontonan.

"Hai, Taa," sapa Kafka waktu dia nurunin kaca mobilnya, sekaligus nurunin masker ke dagunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai, Taa," sapa Kafka waktu dia nurunin kaca mobilnya, sekaligus nurunin masker ke dagunya. Lalu, dia noleh ke Kania dan senyum ramah. "Kania pulang sama siapa?"

"Tadinya mau aku ajak nebeng kamu." Ata yang jawab.

Kania udah biasa ikut Ata di mobil Kafka. Kafka nggak pernah biarin temen-temen Ata kesusahan. Katanya, temen Ata, temen dia juga.

Kafka meringis samar. "Maaf, ya, Kan. Nggak bisa nebengin sekarang."

Kania ikut senyum. Mukanya masih setengah kaget. "Nggak apa-apa, Kak. Aku bisa naik ojek."

Setelah nemenin Kania sampai temennya dapet ojek online, Ata masuk ke mobil Kafka takut-takut. Waktu pertama kali masuk mobil Kafka yang Civic aja, dia mindernya setengah mampus. Emang nggak mewah-mewah banget, tapi jelas itu mobil paling kinclong di antara mobil mahasiswa lain waktu parkir di pelataran parkir mahasiswa Fakultas Teknik. Kalau sekarang Kafka ganti pakai mobil ini, Ata bakal pertimbangin buat langganan ojek lagi. Dia nggak sanggup kelihatan 'gembel'—menurutnya sendiri—tiap masuk mobil ini.

"Ganti mobil?"

"Ini udah lama parkir di garasi, Taa." Kafka nurunin kecepatan mobilnya begitu sampai di depan gapura kompleks. Tengok kanan-kiri, lalu gabung bareng kendaraan di jalanan. "Mama telpon aku bolak-balik tadi siang. Kalau nggak dipakai, mobilku yang biasanya bakal ditarik. Nggak ada pilihan. Aku nggak mau pakai mobil ini ke kantor, jadi aku ambil aja buat dipakai sesekali."

Ata otomatis merhatiin interior mobil Kafka. Satu yang nggak pernah berubah, Kafka pakai parfum cheery buat mobilnya. Meskipun secara keseluruhan, lebih mewah daripada Civic yang biasanya dia pakai.

Tau kalau Ata grogi, Kafka ngusap pundaknya pakai satu tangan. "Rileks, Sayang. Sandaran, dong. Kayak biasanya."

Ata natap Kafka. Hari ini, pacarnya pakai kaus polos, celana jins, jaket, dan topi. Tapi aura Kafka beda banget sama Ata yang juga kasual. Kaus dan rok a-line selutut. Penampilan Ata kebanting sama Kafka yang sederhana tapi kelihatan mewah. Kalau dia, sederhana, ya sederhana aja. nggak ada kata 'tapi'.

"Taa?"

"Hm?"

"Diem aja. Kenapa? Ada masalah?"

Pacaran sama Kafka punya potensi bikin Ata insecure sepanjang hari, tapi Ata berusaha ngelawan itu dengan biarin dirinya bangga karena disayang Kafka. Sayangnya, usaha itu kadang-kadang nggak berhasil.

"Kamu nggak malu pacaran sama aku, Kaf?"

"Ngomong apa, sih, Taa ...."

"Serius."

Kafka ngelirik Ata sekilas. "Sama sekali nggak. Nggak ada pikiran kayak gitu. Aku milih kamu, karena aku sayang kamu. Kenapa? Ada yang lagi ganggu pikiranmu? Atau ada orang yang gangguin kamu dengan bawa-bawa namaku?"

"Ya ... aku sama kamu kan kebanting, status sosialnya. Apalagi sekarang kamu makin sering bawa aku hangout sama kakak-kakakmu, pacar-pacar mereka, temen-temen mereka, anak dari temen-temen Mama dan Papa kamu, tapi aku gini-gini aja. Nggak ada yang spesial dari aku sampai bikin kamu bertahan sama aku."

"Aku nggak punya pikiran kayak gitu. Atau kamu yang mikir kalau aku nggak deserve kamu?"

"Nggak mungkin, lah. You deserve anything. Bahkan yang lebih dari aku."

Kafka berdecak. Kalau nggak lagi nyetir, Ata udah pasti dipelototin sampai dia mati kutu alias nggak bisa ngomong apa-apa. Makanya, dia manfaatin waktu ini.

"Jangan kebiasaan nyabotase diri sendiri, Taa. Kalau aku milih kamu, tandanya kamu deserve aku. It sounds narcissistic, I'm sorry. Ada beberapa hal yang alasannya nggak bisa kamu denger langsung, yang cuma bisa kamu rasain selagi kita bareng."

Ata diam. Kafka juga.

Karena Ata masih diam, Kafka akhirnya ngomong, "Besok aku ganti lagi mobilnya, kalau kamu minder aku nyetir pakai ini. Aku bawa mobil ini biar Mama nggak ngomel mulu. Kupingku panas. Seenggaknya, Mama tau kalau mobilnya aku taruh di basemen dan mungkin aku pakai sesekali."

Sekarang, Ata ngerasa bersalah. Banget. "Kaf, maksudnya bukan ini ...."

"Kamu nggak mungkin tiba-tiba insecure." Kafka genggam satu tangan Ata sebentar. Matanya fokus ke jalanan yang padat. "Kalau apa yang aku punya bikin kamu nggak nyaman, ngomong, Taa. Jangan tiba-tiba nyerang aku pakai semua alasanmu yang selalu kayak gitu. Kamu cuma boleh nggak percaya diri kalau saingannya Vivi yang bikin kamu kadang jadi nomor dua—karena dia hobinya nempelin aku. Sama selain itu, nggak boleh."

"Maaf, Kaf. Aku nggak seharusnya ngatur kamu, apalagi soal urusan yang pribadi banget dan itu ada sangkut-pautnya sama pendapat orang tuamu."

Kafka noleh ke Ata dan senyum. Ata makin ngerasa bersalah. Ata juga ngerasa jahat karena bikin Kafka harus milih, padahal seharusnya nggak.

"Pendapatmu juga penting buat aku, Taa."

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang