➖ His Confident

1.6K 207 3
                                    

"Aku ditembak cewek."

Ata melongo. "Hah?"

"Aku ditembak cewek, Sayang," ulang Kafka.

Ata masih kaget, tapi sekarang dia yakin nggak salah denger.

"Siapa?"

"Senior di kantor," kata Kafka, lalu dia cerita semuanya.

Namanya Kinar. Umurnya delapan tahun di atas Kafka. Satu almamater sama Kafka. Mereka akrab karena Kinar hampir selalu ditugasin buat ngasih Kafka kerjaan. Anak baru lulus kayak dia belum bisa masuk ke proyek-proyek besar. Kalau pun bisa, paling jadi anak bawang doang. Kinar ini banyak ngajarin Kafka. Bikin Kafka makin gampang nyesuaiin transisi dari mahasiswa ngerangkap freelance jadi staf teknik yang kerjaannya pasti dan terukur.

"Selama ini, Mbak Kinar emang baik banget ke aku. Aku nganggepnya karena aku ke hampir selalu kerja sama dia. Lagian, baiknya dia nggak ke aku doang, ke anak baru yang lain juga. Aku santai aja. Apalagi dia udah dewasa, nggak mungkin tertarik sama aku—anak baru lulus."

"Kamu nggak nyadar sama sekali kalau dia naksir kamu?"

"Sempat, soalnya dia hampir selalu ngajak aku makan siang bareng dan naruh cemilan atau kopi dia mejaku tiap pagi. Aku nggak bisa nolak, lah. Nggak enak juga. Dia ngajarin aku selama ini, nggak tau diri banget kalau ngehindar. Tapi aku juga mikir, aku kan ganteng. Siapa yang nggak terpesona sama aku, kan?"

 Siapa yang nggak terpesona sama aku, kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ata langsung ketawa. Lagi serius begini, masih sempat aja pacarnya ini nyeletuk random. Percaya diri banget, lagi!

Kafka cemberut. "Aku serius."

Ata ganti senyum-senyum. Gemes pengen nyubit pipi Kafka, tapi dia nggak mau Kafka ngambek. Kafka nggak suka dibercandain kalau lagi serius. Tapi gimana bisa Ata tahan kalau pacarnya segemesin ini?

"Oke, oke. Sorry. Terus?"

"Sebagai junior yang tau terima kasih, aku bales kebaikan dia. Aku traktir makan malem kalau harus lembur bareng, aku beliin cemilan kesukaannya."

"Terus dia baper?"

Kafka ngangguk, masih sambil cemberut. "Kamu jangan mikir macem-macem, ya. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Mbak Kinar, kecuali dia seniorku. Kamu juga selalu aku ceritain semua kegiatanku di kantor, temen-temenku di sana, kerjaan-kerjaan yang dikasih ke aku. Aku udah ngurangin banget baik ke semua cewek."

Ata ngangguk paham. Kalau lagi nggak capek dan moodnya lagi baik, Kafka bisa cerita semuanya. Semua yang dia lalui seharian. Ata sempat dengar soal Kinar, tapi nggak naruh perhatian lebih. Toh, Kafka juga diperhatiin sama senior-senior lainnya. Kafka bilang, karena kantor tempat kerjanya ini nggak besar-besar amat dan stafnya nggak banyak, mereka jadi lebih mirip temen yang akrab daripada orang-orang asing yang terjebak di satu ruangan dan harus menuhin target. Nggak kaku. Makanya, Kafka betah meskipun gajinya nggak seberapa.

"Terus?"

"Terus apa?" Kafka bingung.

"Kelanjutan kalian gimana? Kamu beneran nolak dia?"

"Iya, lah, Taa! Kamu maunya aku nerima dia?"

Ata berusaha nahan senyum. "Nggak. Aku cuma nanya. Sewot banget, sih."

"Kamu nanyain hal yang udah jelas. Aku udah cerita semuanya, lho. Kamu nggak percaya?"

Aduh, Ata kan jadi pengen ketawa kalau Kafka ngambek-ngambek lucu gini. Tapi dia nggak mau bikin Kafka makin pundung.

"Percayaaaa. Terus hubungan kalian gimana? Nggak canggung? Biasanya, cewek kalau abis ditolak, ngilangnya pakai 1000 jurus yang nggak bakal kamu tebak."

Kafka ngecup pipi Ata, tapi bibirnya masih nggak senyum. Antara sebel karena abis ditembak cewek, sama sebel karena Ata nganggap hal ini lucu. Ya, emang lucu. Karena ini pertama kalinya Kafka ditaksir cewek yang lebih tua dan dia kelihatan risih. Padahal pas sama Gemma, kalem-kalem aja sampai bikin Ata pengen nyakar mukanya yang ganteng itu.

"Biasa aja, awalnya. Dia nembak aku pas abis makan siang. Aku tolak siang itu juga. Aku jelasin kalau aku punya pacar dan pacarku lagi sekolah sekarang—karena selama ini kayaknya dia nggak tau kalau aku punya kamu. Pulang dari mall, masih santai. Ngobrol kayak biasa. Malah ngajak aku ngeborong ice cream buat dibagiin seruangan. Sorenya, aku diomelin habis-habisan perkara salah ngeprint RAB. Dia juga ngirim filenya salah. Tapi ... ya udah, dia lagi patah hati abis aku tolak. Jadi aku sabar-sabarin aja. Ngalah sama cewek patah hati nggak ada salahnya."

Kafka ini, meskipun lagi sebel, tingkat percaya dirinya nggak berkurang dari tadi.

"Kalau dia kayak gitu lagi, gimana?"

Kafka mikir sebentar sebelum jawab, "Nggak mungkin. Mbak Kinar pernah bilang, kalau muka gantengku bikin orang susah marah. Apalagi di mana-mana, aku jadi bungsu—yang kata dia bawaannya minta disayang."

Random lagi. Ata makin gemes, tapi dia berusaha stay calm sambil ngangguk-ngangguk.

"Kamu juga pasti gitu, kan? Nggak tega marahin aku kalau aku lagi kalem-kalem ganteng?" tanya Kafka, makin percaya diri.

Sekarang, Ata nggak bisa nahan ketawanya. "Idih, pede banget!"

"Iya, kan?" Kafka senyum dikit-dikit.

Aduh, Ata nggak bisa berhenti gemes ke Kafka. Tapi dia juga nggak mau kalah. "Aku bisa nyuekin kamu seminggu, ya. Jangan lupa. Mau dicoba lagi? Ditambah seminggu lagi, gimana?"

"Lho, kok jadi ngomongin itu, sih?"

"Lho, kok jadi ngomongin itu, sih?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu nantangin aku." Ata nggak serius. Dan karena cerita Kafka udah selesai, dia mau godain cowok itu sebentar. "Taruhan, yuk?"

"Nggak!"

Ata noel pipi Kafka. "Takut kalah, ya?"

"Takut nggak bisa melukin kamu dan ngobrol kayak gini."

Oke. Skor seri. Kafka menang. Ata cuma bisa ketawa saking gemesnya.

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang