➖ Station

1.5K 219 11
                                    

Kereta api yang bawa Ata balik ke perantauan bakal sampai jam enam sore, beberapa menit lagi. Ata masih ngantuk banget, karena meskipun udah di gerbong eksekutif yang full service dan nyaman banget, dia nggak bisa tidur nyenyak. Kafka udah berisik minta dia naik pesawat, tapi Ata nggak mau lebih banyak ngabisin duit cowok itu. Iya, Kafka yang bayarin tiket pulangnya Ata kali ini. Nggak bisa ditolak. Bahkan, ibu dan bapaknya ngasih izin. Ata nggak tau gimana cara Kafka bikin bapaknya yang gampang tersinggung soal uang, langsung bilang iya waktu Ata nyampein hal ini ke mereka.

Jelas aja, mereka berantem soal ini. Kafka ngambek berhari-hari. Di-chat, balesnya singkat-singkat. Ditelepon, ngomongnya nggak kalah singkat, malah kadang nggak diangkat. Alasannya banyak. Buat mastiin kalau Kafka nggak 'main diluar'—walaupun itu cuma kemungkinan kecil, Ata ngabsen cowok itu ke kakak-kakaknya, diam-diam tentunya. Dia minta Kak Jessy nggak heboh kayak biasanya waktu tau Kafka sama Ata lagi nggak akur. Kak Irina dan Kak Winda responnya jauh lebih kalem. Selama berhari-hari mereka berantem—Kafka yang duluan ngambek tepatnya, cowok itu pulang ke rumah mama-papanya.

Kali ini, bukan marah yang bikin Ata sakit hati, tapi marah yang bikin perasaannya nggak keruan. Kafka terang-terangan nunjukin kalau dia sedih sama penolakan-penolakan Ata. Ata yakin, Kafka lagi manfaatin sisi manipulatifnya, meskipun kadarnya kecil banget dan nyaris nggak kebaca. Tapi, Ata tetap aja nggak tega biarin Kafka ngerasa begitu terus-terusan. Mereka nggak pacaran untuk bikin salah satu ngerasa sedih dan nggak berarti.

Nggak bisa nolak, Ata nyoba cara lain. Negosiasi. Dan, berhasil.

Ata naik kereta api kelas eksekutif yang harganya bikin pusing, tapi fasilitasnya bikin melongo. Gerbong ini desainnya super nyaman dan stafnya super ramah. Pertama kalinya Ata naik kereta di gerbong eksekutif dan dia takjub. Siapa pun bisa bilang Ata norak, karena kenyataannya begitu.

Sayangnya, durasi waktu dari berangkat dari tempat asal sampai datang ke kota tujuan nggak beda jauh sama kelas yang lain. Ini sempat jadi concern Kafka beberapa kali, tapi Ata berhasil ngeyakinin pacarnya kalau dia bakal nikmati perjalanan naik kereta eksekutif.

Karena nggak mau bikin Kafka ngambek lagi padahal Ata kangen berat sama cowok itu dan pengen meluk semaleman, dia setuju Kafka jemput ke stasiun sore ini. Nggak tau gimana cara Kafka nembus macet di after office hour begini, sedangkan cowok itu baru keluar kantor jam lima sore. Ata nggak nanya-nanya. Nanti diomelin. Disangka nggak mau dijemput. Disangka nggak kangen. Dan prasangka-prasangka lainnya yang bikin kuping panas.

HP Ata berdenting pelan. Chat dari Kafka.

Kafka: Aku nunggu di McD. Mau dibeliin apa?

Tuh, kan. Chatnya masih kayak orang sariawan. Irit banget. Nggak ada sapaan sayang kayak biasanya.

Ata belum sempat bales karena keretanya udah berhenti di stasiun dan dia harus siap-siap turun. Antri sama penumpang lain. Tapi Kafka kayaknya nggak mau nunggu. Dia ngirim chat lagi. Tiga sekaligus.

Kafka: Permisi, Mbak. Bukan koran lho ini. Jangan dibaca doang

Kafka: Buruan. Mumpung belum antri banget

Kafka: Nggak dibales, aku beliin cheeseburger

Kafka tau banget kalau Ata paling nggak doyan keju, apalagi di burgernya. Dia nggak bakal mau makan cheeseburger selama ada pilihan lain.

Setelah mastiin ransel dan koper di dekat kakinya, Ata buru-buru bales chat dari Kafka sebelum cowok itu ngomel.

Ata: chicken burger sama milo

Nggak perlu nunggu, Kafka langsung bales chatnya. Ketauan lagi nungguin Ata.

Kafka: Udah?

Ata: Udah

Kafka: Mau paket ayam juga? Kentang?

Ata mikir sebentar, lalu chat dari Kafka dateng lagi.

Kafka: Buruan, Mbak. Pacarmu yang ganteng ini udah dilihatin kasirnya lho. Lama banget mikirnya, minta digigit kalau udah ketemu, ya

Sambil ngetik balesan buat Kafka, Ata cemberut. Kalau Kafka ada di depannya sekarang, pasti dia ngomong begitu ke Ata pakai nada yang nyebelin banget.

Ata: Oke, kentang sama ayam. Ice cream juga. Kalau nggak habis, kamu yang makan sisanya

***

Ata kangen banget sama Kafka. Nggak peduli barusan dia sebel sama cowok itu. Ata tetap ngerasa kadar kangennya ke Kafka nggak berkurang. Jadi, begitu selesai retouch makeup-nya di kamar mandi, Ata langsung nyamperin Kafka ke McD.

 Jadi, begitu selesai retouch makeup-nya di kamar mandi, Ata langsung nyamperin Kafka ke McD

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cowok itu milih kursi di dekat jalan yang ngarah ke kamar mandi. Paham banget sama kebiasaan Ata yang dikit-dikit ke kamar mandi. Kafka langsung berdiri waktu Ata masuk sambil nyeret kopernya. Setelah ngambil alih koper di tangan Ata dan ditaruh didekat kakinya, tempat yang nggak dilewati pengunjung, Kafka meluk Ata. Sebentar, emang. Tapi Ata jelas tau kalau sekarang mereka lagi dilihatin pengunjung McD.

Aduh, Kafka. Kebiasaan banget. Suka nggak tau tempat kalau mau nunjukin perasaannya.

Ata diam aja sampai Kafka ngelepas pelukannya, lalu ngusap pipinya pelan.

"Capek?" tanya Kafka waktu mereka duduk.

Ata duduk di depan cowok itu. Meja di antara mereka masih kosong. Pesanan Kafka masih disiapin.

Nada suara Kafka lembut sekaligus nenangin. Nggak ada nada konfrontasi dan sedih kayak di telepon beberapa hari lalu.

"Udah nggak ngambek?" Ata malah balik nanya.

Kafka cemberut, lalu senyum lucu. Ata jadi pengen meluk Kafka erat-erat. Sayangnya itu nggak mungkin sekarang. Nggak di tempat umum. Ata nggak mau.

"Pacarmu nanya apa, kamu jawab apa."

Ata nyengir. "Capek, lah! Tapi bukan karena keretanya nggak nyaman, lho. Aku yang susah tidur, padahal udah dikasih bantal sama selimut."

"Tuh, udah dibilangin, lebih enak naik pesawat, nggak sampai—"

"Naik kereta juga enak, apalagi yang eksekutif." Ata motong ucapan Kafka yang udah kayak radio error itu, diulang-ulang sampai Ata hafal mampus. "Tadi pagi, aku lihat sunrise. Cantik banget dilihat dari kereta! Barusan aku juga lihat sunset. Tempat dudukku strategis, jadi aku bisa foto-foto tanpa ganggu penumpang lain. Kamu mau lihat foto-fotonya?"

Kafka nggak langsung jawab. Cowok itu ngelihatin Ata, lama.

Kenapa, sih, dia?

"Nggak mau, ya?" tanya Ata, ragu.

"Sunrisenya foto sama kamu, nggak?"

Ata melongo. "Gimana, tuh?"

"Sunrisenya foto sama kamu, Cantik?"

"Kebalik, ih! Aku yang foto sama sunrisenya." Ata heran, sekaligus tersipu.

"Aku maunya bilang, sunrisenya foto sama kamu, karena aku yakin kamu lebih cantik daripada sunrise mana pun." Kafka senyum gemes. Cowok itu berdiri sambil ngelihatin monitor di dekat kasir. Nomor antriannya baru aja dipanggil. Sebelum jalan ke kasir, Kafka lanjut ngomong ke Ata, "Buat aku, yang lebih cantik harus disebutin dulu, nggak boleh dibalik."

***

Boyfriend ✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang