Apa Bagusnya? - IV

4.8K 23 1
                                    

Benih sperma Zia menyemprot dengan hebat dalam liang kenikmatan milik Riri. Justru dalam keadaannya yang berusaha menahan, membuat ejakulasi yang dialaminya menjadi semakin nikmat luar biasa. Seluruh indra dan syaraf-syarafnya berpusat dalam kepala zakarnya, otot-otot dan aliran darahnya membantunya untuk menyemburkan cairan kental yang jumlahnya sangat banyak itu.

Riri merasakan kehangatan benih Zia, mereka bersatu dalam kenikmatan puncak yang digiring nafsu syahwat dalam selimut cinta.

Keduanya menegang, berkedut dan bergetar hebat saling beriringan. Cengkraman mereka erat, dan kelamin buas mereka saling mendorong hasil persetubuhan mendadak yang didukung oleh keadaan dan suasana malam itu.

"... ~aahh ... Enak banget sayank," ucap Zia lemas. "Aku- keluar di dalem ..."

"Iya ..."

Zia masih menyandarkan pipinya di payudara Riri. Sisa kedutan penisnya masih terasa, meskipun berangsur-angsur melemah.

"Masih pilih dia?" tanya Riri yang tiba-tiba suaranya terdengar takut.

Zia melepaskan pelukan eratnya, memegang kedua pipi perempuan yang ternyata liar di ranjang itu, "Enggak, Ri ... Aku sayang kamu ... Kamu luar biasa ..."

Riri mencium bibir Zia dengan penuh cinta. Ia tersenyum bahagia, hatinya puas karena berhasil menundukkan pria pujaannya.

"Kalo tadi kamu masih pilih dia, aku bakal usir kamu sekarang juga, dan gak akan pernah ketemu kamu lagi," kata Riri sambil cemberut manja.

"Malem ini aku sadar, kalo ternyata memang kamu adalah perempuan yang aku mau,"

"Karena enak?"

"Bukan dong, Ri-,"

"Jadi enggak enak?"

Zia tersenyum, ia menikmati kemanjaan wanita yang sesuai dengan fantasinya itu. "Kamu is the best lah pokoknya. Tapi bukan cuma itu, kamu ..."

"Apa ...?"

Zia bingung mengatakannya, ia tidak ingin terdengar gombal ataupun dibuat-buat.

"Kamu sempurna Ri, dalam banyak hal ..."

Riri terdiam, matanya berkaca-kaca; ia meneteskan air mata.

"Lho, kok kamu nangis? Aku serius," kata Zia berusaha meyakinkan.

"Enggak, bukan itu. Aku cuma enggak nyangka aja, akhirnya aku enggak bertepuk sebelah tangan lagi." -Riri mengusap air matanya- "Aku suka sama kamu sejak kita ketemu dulu. Kamu inget kapan kita pertama ketemu?"

"Di kantor? Pas kamu ngelamar?"

"Bukan, kita pernah ketemu dulu di kantin kampus aku. Kamu lagi nongkrong-nongkrong sama kak Dani. Kamu sempet ngoceh tuh soal cita-cita, pengen jadi sukses dan segala macem."

"Masa, sih?"

"Iya, terus aku sempet nanya-nanya cari perhatian kamu, tapi kamu gak ngerasa kayaknya. Terus enggak lama, Nisa dateng dan kalian langsung pulang."

Zia mendengarkan cerita Riri sambil berusaha untuk mengingat-ingat.

"Terus, kok kamu bisa langsung suka? Kan kita baru sekali itu ketemu, enggak lama pula,"

"Karena sebelumnya aku lagi nanya ke kak Dani soal ujian, dia kan dulu asisten dosen. Terus malah kamu yang ngejelasin tentang apa yang aku tanya,"

"Kamu- terpesona, ya?"

Riri tersenyum. "Iya, aku langsung suka. 'ih ini cowok pinter banget, ganteng lagi' gitu. Makanya sekarang aku ngerasa gimanaaa gitu ..."

Zia semakin terpesona mendengar cerita Riri, ia menciumnya.

Situasi BirahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang