Anya - I

2.4K 14 0
                                    

JENUH! Itu yang kurasakan beberapa waktu belakangan ini. Tak terasa sudah mendekati akhir semester, dan tak ada ingatan jelas sedikitpun mengenai semester ini. Menyesal rasanya aku tidak menuruti kemauan orang tuaku untuk kuliah di Peruggia, dan malah memutuskan untuk kuliah di universitas antah berantah di pinggiran kota Jakarta.

Aku menghindari untuk semakin terjerumus pada sifat manja karena harta berkecukupan yang dimiliki keluargaku, teman-teman SMA ku pun banyak yang berkuliah di luar negeri -maklum, SMA ku pun tergolong sekolah yang sangat mahal. Dan penyesalan itu semakin terasa mengingat aku yang mencoba hidup mandiri ini ternyata benar-benar kesulitan. Hidup tak semudah yang kukira, terlebih tanpa dukungan orang tuaku.

Whatever! Sebagai wanita yang bercita-cita tinggi, aku harus kuat menghadapi cobaan hidup. Aku pasti bisa, harus bisa!

"Semuanya seratus dua puluh lima ribu, Kak." Penjaga kasir menyadarkanku yang melamun.

"Oh, iya." Aku membuka tas untuk mencari dompetku, namun aku tidak menemukannya. Shit! Sepertinya ketinggalan di kostan. "Aduh, kayaknya saya lupa bawa dompet, Mbak," kataku sambil masih merogoh isi tasku. "Online payment, bisa?"

"Wah, maaf Kak, sistem kami lagi error."

Mampus gue! Gimana, dong!?

"Sorry, masih lama gak? Saya kebetulan lagi buru-buru," kata seorang pria yang mengantri di belakangku.

"Duh, maaf ya Mas, dom-"

"Anya?" tanyanya. Aku sendiri masih belum ngeh apa maksudnya.

"Sorry, siapa ya?" tanyaku memastikan.

"Ini aku, Eka!" serunya, seolah itu akan mengembalikan ingatanku yang mungkin lupa siapa dia. Tapi aku yakin, aku mengenalnya.

"Sorry, Mas. Salah orang."

Raut wajahnya benar-benar terkejut, seperti sedang melihat hantu.

"Maaf, Kak. Mungkin Kakak bisa geser dulu biar Kakak yang di belakang bisa duluan,"

"Oh, iya-iya,"

"Gak apa-apa, Mbak. Biar saya yang bayar,"

"Eh, gak usah Mas, ngapain?" Aku kemudian menoleh ke penjaga kasir. "Gak usah, Mbak. Biar saya enggak jadi pesen, nanti lagi aja."

"Enggak-enggak, serius! Biar saya aja yang bayar," kata pria yang katanya bernama Eka itu ke penjaga kasir. Ia begitu memaksa, membuatku jadi meng-iya-kan dengan canggung.

Lalu kami pun menungguh di pojok meja bar untuk mengambil pesanan. Pria itu beberapa kali menatapku dengan heran, aku mencoba tersenyum lalu mengalihkan pandanganku darinya.

Kopi pesananku lebih dulu siap disajikan, ingin rasanya aku segera pergi, tapi pasti akan terasa salah. Pria itu baru saja mentraktirku, paling tidak aku harus bersikap ramah padanya.

"Terimakasih ya, Mas Eka. Aku jadi gak enak," ucapku mencoba bersikap friendly.

Ia lalu menatapku sambil tersenyum. "Sama-sama. Maaf soal tadi, kamu bener-bener mirip sama temenku,"

"Oh ya?" Aku berpura-pura penasaran, lagi-lagi untuk sekedar sopan. Peduli setan! Apa urusan gue? Hufth!

"Iya, namanya Anya."

Emang gue nanya!?

"Oh ..."

"Kamu ... Kerja atau kuliah?"

Aduh! Jadi panjang, deh. Salah nih gue.

"Masih kuliah, Mas. Anu, saya harus pergi, mau ketemu dosen," kataku beralasan untuk segera pergi dan menghentikan percakapan.

Situasi BirahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang