Anya - IV

1.9K 15 0
                                    

Akhirnya magangku di kantor Mas Eka ini terus berlanjut. Meskipun kini sebenarnya aku sudah menyelesaikan laporan magang dan mendapat nilai cukup baik. Praktis sebenarnya aku tak harus lagi ada disini, tapi ... Sekarang situasinya berbeda.

Hari-hariku kini diisi dengan aktifitas seksual yang panas dan menggairahkan. Seolah kantor ini adalah padang Savana ku dan Mas Eka, sementara kami berdua adalah binatang buas nan binal yang tengah bergairah memadu cinta di musim kawin. Bagaimana tidak? Tak ada satu centimeter pun luas kantor yang luput dari kegiatan persenggamaan kami berdua, begitu pula dengan waktu yang seolah selalu tersedia kapanpun kami mau. Kami mewakili frase kasmaran terbalut nafsu yang seakan tiada habisnya.

Kode-kode samar pun tercipta dengan sendirinya diantara percakapan kami. Seperti kemarin siang ketika Mas Eka yang harus menemui klien bersama Mbak Yayank dan menolak ajakannya dengan berkata, "Maaf, Yank. Saya gak bisa ikut kayaknya. Si kecil masuk angin, harus di muntahin dulu baru baikkan."

Dia jelas belum menikah, 'Si Kecil' yang dimaksudnya adalah penisnya yang ingin ejakulasi. Sebuah pesan nakal sekaligus manis untukku yang saat itu kebetulan sedang berjalan melewati mereka berdua. Kejadian berikutnya sudah jelas, ia mencumbuku di ruangannya setelah kantor kosong.

Atau sekedar gombalan brengsek seperti, "Nya, maksud kamu apa, sih? Kok kayaknya mancing-mancing saya pake baju yang ketat begitu?"

Padahal tidak ada yang berbeda dari caraku berpakaian. Pertanyaan itu hanyalah variasi bumbu yang lucunya justru malah menambah gairah kami berdua.

Sejak kejadian 'pertama kali' bulan lalu, kupikir mungkin kami sudah bercinta puluhan kali. Ya, puluhan kali. Dan setiap kalinya Mas Eka selalu melakukannya dengan penuh gairah, dan ... Always came inside! Damn! Aku tak pernah bisa menolaknya.

Sejujurnya aku menikmati ini tidak hanya sebagai pengalaman atau petualangan baru yang mengasyikkan, namun memang aku benar-benar menikmatinya dengan sungguh-sungguh.

Batasan diantara kami semakin memudar, dan kami semakin mesra. Kami tak lagi ragu untuk ekspresif apa adanya, terlebih ketika bercinta. Kata kotor dan tabu sudah biasa saling terucap dari mulut kami berdua. Tak ragu untuk meminta, merayu, menggila, hingga memaksa. Mas Eka memintaku memenuhi fetish atau fantasinya selayaknya meminta dibuatkan secangkir kopi.

Hari ini pun seperti hari-hari sebelumnya, tak jauh berbeda. Kami baru saja meeting dengan klien besar di tengah kota. Sebelum masuk lift, Mas Eka celingukan, "Duh, kamar mandi dimana, ya?"

"Kenapa emangnya, Mas?"

"Uffh..! Mau pipis, dari tadi udah nahan-nahan soalnya."

Situasi sederhana seperti ini pun dapat melahirkan percakapan ngeres!

"Ya udah, sih. Tahan aja dulu, toh kan cuma pipis. Kalo pipis enak, baru deh ... Jangan ditahan-tahan, gak sehat ..."

Tai gak sih? Itu keluar dari mulutku lho!

Mas Eka menarik tanganku dan masuk ke toilet pria yang ternyata ada di belakang koridor di sebelah lift, lalu melampiaskan nafsunya dengan cepat. Dia pipis enak di dalam kemaluanku.

"Kamu tuh suka nyari-nyari terus, ya?" katanya.

Kami berkaca di cermin toilet merapikan diri kami yang sedikit berantakan setelah seks kilat.

"Lho? Kok jadi salahin aku sih, Mas? Kan aku cuma bilang, kalo cuma mau pipis aja, tahan aja dulu,"

"Ih, kamu gak cuma ngomong gitu, kali. Abis itu kan kamu bilang kalo 'pipis enak' yang jangan di tahan. Ya itu kan mancing namanya,"

"Jadi, kamu gak suka pipis enak? Hm?"

Dia melirik judes kearahku sambil memasukkan kemejanya ke celana.

Situasi BirahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang