Teman Tapi... - IV (Muncrat)

5.7K 20 0
                                    

Aku terbangun, aku langsung melihat handphone untuk mengecek jam berapa sekarang. Ternyata udah jam setengah sebelas malam.

Aku balik badan, aku lihat Magi tertidur di lantai dekat pintu kamar ku. Sepatunya masih terpakai, bahkan helm motornya masih dipegang sambil dia tidur. Ya ampun, apa yang aku lakukan!? Magi, sahabat baikku, laki-laki yang aku sukai, tidur di lantai di hari ulang tahunnya ... dan semua itu hanya karena kecemburuanku yang tidak berdasar ...

Semua amarahku telah hilang sepenuhnya, justru kini berganti dengan rasa melankolis dan simpati. Semua momen-momen kebaikan Magi selama ini memenuhi kepalaku, dan membuat hatiku menjadi penuh akan rasa kasih sayang.

Aku menghampirinya, kubuka sepatunya; kuambil helm nya dan meletakkannya di dekat tempat sepatu. Aku elus pipinya. "Gi ... Magi ... bangun ..."

Magi pun terbangun, dia menatapku dengan mata yang masih berat karena terkantuk.

"Jangan tidur di lantai, nanti sakit ... yuk," kataku mengajaknya berdiri.

Aku lalu menuntun Magi untuk kembali ke kamarnya. Aku ingin memberikan surprise ulang tahun yang telah kusiapkan sepanjang hari untuknya.

"Happy Birthday ...," ucapku padanya sambil tersenyum. "Maaf ya, kalo kue-nya kecil ..." Aku mengambil kue kecil berbentuk hati dengan tulisan 'Selamat Ulang Tahun wahai belahan jiwaku', dengan satu lilin kecil yang menyala di atasnya.

"Makasih, Han ... maaf ka-"

"Ssstt ... udah, gak usah dibahas. Ayo, kamu make a wish," pintaku pada Magi.

Magi lalu memejamkan matanya. Entah apa permohonan yang diharapkannya, tanpa terasa mungkin sudah lebih dari dua menit dia memejamkan matanya.

"Hey, jangan tidur, dong ...," kataku.

Magi senyum sambil menggeleng.

"Kok lama banget?"

What!? Tiba-tiba kulihat air matanya menetes di pipinya, dan kudengar nafasnya yang kini jadi seperti orang yang sedang pilek.

"Gi ... kamu kenapa ...?" Aku tak kuasa menahan rasa sedih campur bersalah di dadaku. Suaraku gemetar.

Magi pun kembali membuka mata, lalu meniup lilinnya. Dia menatapku yang sudah basah berlinang air mata di pipiku, dengan nafas yang sesunggukan. Aku tak mampu menahan emosi rasa haru sekaligus bersalah ini.

Aku meletakkan kue, kemudian memeluk erat Magi. "Maafin aku ya, Gi ... sumpah ... maafin aku, sayang ...," kataku sambil menangis dan dengan suara yang gemetar.

"Aku enggak marah, kok. Aku ... sayang kamu, Han," jawab Magi dengan lembutnya.

"Kamu pasti sedih ..., aku tadi udah kasar banget sama kamu, yang ... hati kamu pasti sakiiit ... Ya ampuuuun, maafin aku sayaaang ... jangan pergi ... jangan tinggalin aku ..." Aku dipenuhi rasa takut luar biasa akan kehilangan Magi.

Magi mengusap-usap kepalaku dengan mesra; ia memanjakanku. Ia terus memelukku yang masih menangis hingga aku berhenti. Wajahku saat ini pasti sangat sembab. Aku menciumi wajah Magi, berusaha untuk meredakan rasa sedihnya akan kelakuanku tadi sore.

"Aku sayang kamu, Sayang ...,"

"Iya, aku tau. Kamu udah tunjukin itu hari ini, dan aku seneng. Kasih aku surprise, kasih aku kue,"

"Kamu baik banget sih, Gi ...? Aku sayang kamu." Aku lalu mencium bibir Magi.

Kami kemudian duduk bersama, dan menikmati kue ulang tahun Magi. Kami memakannya bersama-sama dengan satu sendok kue secara bergantian dan saling menyuapi.

Situasi BirahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang