Automata - I

3.8K 18 0
                                    

GFF (General Fights Festival) adalah kompetisi beladiri yang ternama di dunia ini, dan telah ada selama ratusan tahun. Kejuaraan dimana para pendekar dari berbagai tempat dengan berbagai kemampuan saling beradu setiap 5 tahun sekali untuk menjadi petarung terbaik.

Saat ini aku sedang beristirahat setelah mengalahkan petarung pria dari Sparta di partai 64 besar. Aku dapat mengalahkannya dengan mudah, karena gaya bertarungnya mirip dengan bangsaku -Romawi. Aku melihat kontestan berikutnya sedang bersiap-siap, ia sepertinya dari afrika. Badannya hitam legam dan banyak bekas luka cambuk. Sudah biasa kulihat bangsa Afrika yang mencoba peruntungannya di turnamen ini, mereka biasanya hanya sekedar berusaha lari dari siksaan majikannya.

"Selamat, Tuan. Anda bertarung dengan sangat baik," kata seorang pria yang sepertinya adalah penjaga gerbang.

"Yeah, terimakasih."

"Babak 32 besar masih menunggu beberapa pertandingan lagi, silahkan menikmati jamuan di tempat makan yang disediakan."

Aku mengangguk, kemudian menuju tempat makan khusus petarung yang letaknya di tempat teratas, di belakang bangku penonton. Dari situ aku melihat pria Afrika yang kulihat sebelumnya sedang melawan seorang Ninja berpakaian serba hitam.

"Ninja itu akan mengalahkannya dengan mudah." Tiba-tiba seorang pria berpakaian sama denganku datang menghampiri.

Aku menengok. "Oh, kau dari Roma?"

"Marcus. Senang berkenalan denganmu, tuan-,"

"Antonius," jawabku sambil menjabat tangannya. Ia kemudian duduk di samping ku. "Jadi, kau tau banyak tentang mereka?

"Percayalah, aku pernah melawan mereka di turnamen yang lebih kecil. Pria Asia bertubuh mini sungguh lincah dan merepotkan, kawan."

"Sungguh? Jadi- kau-,"

"Tentu saja aku menang. Apa kau lupa? Kita ini Romawi, kita bangsa terbaik," potongnya padaku sambil berceletuk dengan sombong soal darah Romawi. "Tetap saja, terakhir petarung bangsa kita menang adalah 100 tahun yang lalu, Marcus."

Ninja itu dapat mengalahkan si pria Afrika dengan mudah sesuai perkiraan Marcus. Memang bangsa Asia lah yang paling mendominasi turnamen besar bergengsi ini dalam 100 tahun terakhir. Cara mereka bertarung sungguh unik dan beragam, membuat lawan-lawannya kesulitan untuk menebaknya.

"Apa kubilang?" katanya sombong. "Lagipula, kau tak akan menang dengan sikap pesimis seperti itu, kawan." Marcus lalu berdiri kemudian pamit.

Aku kemudian berbalik, dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Aku melihat wanita Romawi yang berjarak 2 meja di depanku. Dari pengalamanku sebagai pria, aku tau pasti dari wajahnya bahwa ia tertarik padaku. Rambutnya bergelombang berwarna coklat, ia memakai gaun khas wanita Roma yang suka memamerkan bahunya.

Sesuai dugaanku, wanita itu menghampiriku. Wajahnya cantik, warna matanya senada dengan rambutnya. Ia tersenyum. "Hai, boleh aku ikut duduk di sini?" tanyanya dengan suara yang menggoda.

"Tergantung, nona-...,"

"Romina,"

"Nona Romina. Itu tergantung apakah laki-laki dibelakang sana yang menatap kearah kita dengan kesal itu pasangan mu atau bukan."

Ia menoleh kebelakang. "He wish-, dia bukan siapa-siapa,"

"Well, kalau begitu kau boleh duduk di sini,"-aku meraih tangannya untuk membantunya duduk-, "Antonius," kataku memperkenalkan diri sambil mencium punggung tangannya.

Aku sudah banyak menemui tipe wanita Romawi penggoda seperti Romina. Memang pada saat turnamen besar seperti ini, wanita-wanita penggoda ini berkeliaran di sekitar arena pertarungan. Entah kenapa, mungkin mereka berharap akan bertemu pria petarung yang hebat dan kaya. Atau mungkin sekedar mencari petualangan cinta bergairah satu malam.

Situasi BirahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang