Prolog: The Crimson Memories

271 8 0
                                    

2009

Kim Seokjin melangkahkan kakinya dengan riang.

Sesekali ia bersenandung kecil, berhenti sebentar untuk mengamati langit sore yang tampak berwarna oranye dan ungu, kemudian berjalan lagi dengan riang menuju rumahnya.

Hari ini terasa spesial. Ia mendapat nilai bagus untuk ujian mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah, ia berhasil mencetak skor tinggi saat perlombaan basket, dan ia dapat menghabiskan waktu berdua dengan Joohyun di perpustakaan sebelum bel pulang benar-benar berbunyi. Rasanya begitu spesial, sebab biasanya, Joohyun tidak penah mau jika Seokjin ajak belajar berdua saja di perpustakaan. Entah apa yang membuat hati gadis itu luluh, tapi yang pasti, Seokjin girang tidak kepalang dibuatnya.

Di sisi lain, hari ini kedua orangtuanya menjanjikan sebuah makan malam spesial untuk merayakan ulangtahun pernikahan mereka. Ini tentu menjadi sebuah momen yang spesial karena biasanya mereka selalu sibuk bekerja di luar rumah dan pulang setelah matahari terbenam. Meskipun begitu, Seokjin selalu mengingat hari di mana kedua orangtuanya menikah, dan setiap tahunnya, ia selalu memberikan hadiah kecil sebagai bentuk cinta dan kasih sayangnya untuk ayah dan ibu.

Tahun lalu Seokjin hanya bisa membelikan tiga buah donat dengan lilin kecil untuk merayakan hari jadi pernikahan kedua orangtuanya. Tahun ini, berkat kegigihannya dalam menabung uang jajannya, Seokjin dapat membeli sebuah kue tart berukuran sedang yang ia pilih sendiri dari toko kue.

Hatinya berdebar dan dipenuhi adrenalin, tidak sabar untuk melihat reaksi kedua orangtuanya.

Kim Seokjin adalah seorang anak tunggal. Ayahnya bekerja sebagai seorang wartawan, ibunya bekerja sebagai seorang jurnalis. Tumbuh besar di lingkungan yang kritis dan gemar membaca, Seokjin tumbuh menjadi seorang remaja yang juga sama kritisnya dengan kedua orang tuanya dan memiliki wawasan luas.

Oleh karena itu, saat teman-teman sebayanya kebingungan untuk menentukan masa depan mereka, Seokjin sudah tahu ia ingin menjadi apa ketika lulus SMA nanti.

Ia ingin bekerja menjadi seseorang yang dapat membantu banyak orang dan menegakkan keadilan.

Tapi menjadi seorang penegak keadilan bisa menunggu, kue tart di tangannya saat ini jauh lebih penting dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Napasnya sedikit tersengal ketika ia tiba di depan pagar rumahnya. Ia membukanya lalu mendapati bahwa baik sepatu ayah maupun ibunya tersimpan dengan rapi di depan pintu masuk, tanda bahwa mereka berdua ada di rumah.

Senyum Seokjin merekah menyadari fakta itu. Ia membuka pintu depan dengan hati berdebar, langkahnya sangat cepat ketika memasuki rumahnya.

"Aku pulang!" serunya, bersiap untuk mendapat sambutan hangat dari kedua orangtuanya.

Namun, di luar dugaannya, tidak ada siapapun yang menjawab salamnya.

Seokjin mengerutkan keningnya.

Aneh. Biasanya salah satu dari mereka selalu menyahut ketika aku pulang.

Ia berjalan ke arah ruang keluarga, namun tidak ada siapapun yang ia temukan di sana selain sebotol bir dingin yang terbuka dan secangkir teh yang sudah mulai dingin. Ia berjalan ke dapur, namun lagi-lagi tidak ada siapapun di sana.

Mungkin mereka ada di ruang kerja. Siapa tahu ada sebuah pekerjaan mendadak dan mereka harus menyelesaikannya hari ini juga, kan?

Masih dengan semangat yang sama, Seokjin berjalan menaiki tangga menuju kamar di ujung lorong lantai dua rumahnya. Kamar terluas di rumah itu digunakan sebagai ruang bekerja kedua orangtuanya, dan Seokjin tidak pernah berani masuk tanpa izin kecuali ada hal yang benar-benar penting.

Langkahnya terhenti di depan pintu ruangan itu.

Tidak ada suara apapun di dalam sana. Seokjin meraih gagang pintu, lalu menyadari ada sesuatu yang terasa basah mengotori kakinya. Ia menunduk untuk melihat ujung kakinya, yang masih beralaskan kaus kaki berwarna putih, kini dipenuhi noda kemerahan yang mulai menyebar.

Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu ruangan itu dengan jantung yang berdebar keras—kali ini dipenuhi oleh rasa takut yang teramat sangat.

Kue tart di genggamannya terjatuh ke lantai, menghantam genangan cairan berwarna merah pekat itu, menimbulkan bunyi kecipak yang memualkan. Apa yang Seokjin lihat dalam ruangan itu mampu membuat dunianya terasa berhenti berputar, jantungnya berhenti berdetak, dan darahnya berhenti mengalir.

Hari itu, Kim Seokjin menjadi seorang anak yatim piatu.


LEVERAGE [Book 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang