Namjoon
Berdasarkan ilmu yang kupelajari di masa laluku, seorang penjahat biasanya akan kembali ke tempat kejadian perkara untuk memeriksa 'hasil karya' mereka. Entah itu untuk kasus pembunuhan atau kebakaran, mereka akan kembali ke TKP untuk melihat keadaan. Ada kepuasan tersendiri ketika mereka melihat kekacauan yang mereka timbulkan.
Makanya, awalnya kami menduga Kim Wooyoung akan kembali ke panti asuhan untuk memeriksa keadaan. Toh, dugaan awalnya adalah dia yang sengaja menyimpan bubuk mesiu itu di basement panti asuhan kan? Kami kira dia memang sengaja ingin meledakkan panti dan membuat kebakaran hebat.
Tapi ternyata dugaan kami salah. Kim Wooyoung tidak pernah kembali ke panti asuhan. Dia malah bersembunyi.
Itulah sebabnya kini kami mendatangi tempat persembunyiannya. Seokjin berhasil meneleponnya dan membujuknya untuk bertemu (dia, dengan kemampuan aktingnya yang cukup keren bahkan ketika dalam situasi terpuruk ini berhasil mengelabui Kim Wooyoung).
Si pemilik panti asuhan yang tampaknya lagi ketakutan setengah mati itu bersembunyi di sebuah kawasan apartemen kumuh, agak berbanding terbalik dengan fakta bahwa dia juga sudah membeli sebuah yacht mewah untuk berlibur.
Seokjin, kini dengan dandanan klimis bak pengusaha betulan tengah berdiri menunggu jawaban telepon dari Kim Wooyoung di depan pintu masuk apartemen.
"Oh, Pak Kim? Saya sudah tiba di tempat."
"Aku bisa melihatnya. Kamu yakin kamu datang sendirian?"
Seokjin terlihat menatap ke sekelilingnya.
"Iya, saya datang pakai taksi online. Kalau anda tidak percaya, anda bisa melihat history ponsel saya."
"Bagus, kutunggu di lantai tiga."
Tanpa banyak basa-basi, Seokjin masuk ke dalam apartemen dan hilang dari pandanganku.
Aku menunggu di sebuah rooftop bangunan toko dengan jarak yang tidak terlalu jauh, memantau situasi sekitar sini menggunakan teropong dan memastikan tidak ada orang lain selain kami dan selusin polisi yang bersiap untuk bertindak barangkali ada sesuatu yang buruk terjadi.
Rencana kali ini adalah membuat Kim Wooyoung mengakui kejahatannya, dan jika tidak, menggali informasi tentang siapa orang yang mungkin saja mengancamnya dan ingin membuat reputasinya jelek. Hanya ini satu-satunya harapan kami.
"Seokjin hyung, jangan lupa ikuti skenarionya ya." bisikku.
"Tenang." suara Seokjin terdengar kecil dan samar-samar di earpiece kami.
"Jungkook, monitor?"
"Seokjin hyung udah masuk ke ruangan apartemen. Gila, si Kim Wooyoung ini kayaknya paranoid banget. Kamarnya remang-remang."
Kuhela napasku kemudian kembali mengamati gedung apartemen tingkat lima itu dengan seksama.
"Saya sudah lihat berita di televisi. Anda cukup nekat ya, menyimpan bahan peledak di gedung panti asuhan seperti itu."
Bisa kudengar Kim Wooyoung menghela napasnya, ia terdengar gelisah dan cemas.
"Bukan aku yang melakukannya." jawaban si Pak Kim membuatku tertegun selama beberapa saat.
"Lalu? Kukira anda berniat untuk langsung merobohkan tempat itu setelah kematian si CEO Park. Anda tahu, situasinya tidak akan rumit jika anda bekerja sama dengan saya."
"Kim Wooyoung kelihatan gelisah." Jungkook berbicara dari earpiece kami. Sayang sekali aku tidak bisa ikut duduk bersamanya di dalam van untuk memantau monitor.
"Ada yang menyuruhku. Katanya, dengan begitu aku bisa dapat dana lebih cepat daripada menggunakan jasa kontraktor."
Bloody hell. Si pak tua ini tolol atau apa, sih? Itu mah, sudah jelas rencana genosida!
"Ada calon kontraktor lain yang lebih baik dari saya, maksud anda?" pertanyaan Seokjin terdengar mengintimidasi. Nada bicaranya seolah-olah berusaha untuk menekan Kim Wooyoung sekeras mungkin, membuatnya terbuka.
Aku tidak tahu ekspresi macam apa yang ditunjukkan oleh Kim Wooyoung saat ini (gambar dari kamera tersembunyi di kancing baju Seokjin hanya bisa dilihat di layar monitor), tapi sepertinya aku bisa menebak perasaan si pemilik yayasan yang serakah itu saat ini. Mereka semua selalu seperti itu, pengusaha-pengusaha serakah yang menghalalkan segala cara biasanya selalu merasa gelisah dan tidak tenang sepanjang hidup mereka.
"Bukan calon kontraktor yang menyarankannya. Seorang anggota polisi,"
Layaknya disambar petir di siang bolong, pengakuan tidak terduga dari Kim Wooyoung itu membuatku tanpa sadar mengepalkan tanganku.
"Komisaris?" Seokjin terdengar bertanya dengan nada yang tenang, namun aku tahu pasti bahwa dirinya berusaha untuk tidak meledak-ledak saat ini.
"Bukan, pria itu sih sebentar lagi juga bakal didepak dari kepolisian. Ada letnan bernama Jackson yang menyuruhku."
Sebenarnya, aku sudah menduga jawaban dari Kim Wooyoung akan seperti itu. Tapi entah kenapa, rasanya aku tetap saja terkejut bukan main mendengarnya.
"Saya tidak pernah mendengar namanya." kata Seokjin, padahal kami semua tahu itu adalah kebohongan besar.
"Baiklah, kalau begitu. Kita langsung bicara bisnis saja. Saya ingin menawari anda sebuah kesempatan untuk kabur ke luar negeri. Anda pernah ke Slovenia?"
Sepertinya Kim Wooyoung menggelengkan kepalanya, karena aku bisa mendengar Seokjin terkekeh sebelum melanjutkan berbicara.
"Saya akan pesankan tiket pesawat ekonomi ke Slovenia, malam ini juga. Asal anda mau memberikan sertifikat tanah dan hak milik yayasan kepada saya, tanpa terkecuali. Ini tidak hanya akan membebaskan anda dari segala tuduhan, namun anda juga pada akhirnya akan mendapat apa yang selama ini anda inginkan."
"Bagaimana kutahu anda tidak berbohong?"
Bisa kudengar Jungkook mengetikkan sesuatu dengan cepat di keyboard laptopnya. Saat ini, seharusnya Seokjin sedang menunjukkan layar ponselnya yang tengah memproses transaksi bitcoin kepada Kim Wooyoung.
"Saya tidak mungkin melepas sejumlah uang ini kepada anda cuma-cuma, kan?"
Tentu saja uang yang kami kirimkan bohongan. Zaman sekarang, kamu bisa dengan mudah memanipulasi transaksi digital seperti ini. Orang yang sedang panik dan kalut macam Kim Wooyoung ini tidak mungkin akan seteliti itu untuk memeriksa apakah transaksi ini palsu atau tidak.
"Baiklah, sepertinya aku juga tidak punya pilihan lain."
Ucapan Kim Wooyoung ini terdengar sangat indah di telingaku. Umpan termakan!
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVERAGE [Book 2]
ActionSebuah panti asuhan di pinggiran kota Seoul akan dirobohkan karena sudah terlalu tua dan menghalangi proses pembangunan pusat perbelanjaan. Puluhan anak-anak panti terancam kehilangan rumah mereka. Hanya Kim Seokjin, seorang mastermind ulung dari p...