4.1
Seokjin selalu menyesal soal waktu.
Ia menyesal karena waktu itu, ia tidak pulang cukup cepat dari sekolahnya. Jika ia pulang lebih awal, mungkin ia dapat menyelamatkan kedua orangtuanya dari takdir mengerikan yang mengubah hidupnya selamanya.
Ia menyesal karena waktu itu, ia memilih untuk terlarut dalam duka pasca kematian orangtuanya (seperti anak-anak pada umumnya) dan bukannya mencari tahu siapa titisan setan yang tega melakukan hal sekeji itu kepada kedua orangtuanya.
Belakangan ini, ia juga menyesal karena telah membuang-buang waktu bertengkar dengan Joohyun.
Ia menyesal karena menunda-nunda untuk meminta maaf kepadanya.
Dan kini ia menyesal, karena ia tidak datang lebih cepat untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang ia sayangi dengan sepenuh hati selama ini.
Ketika ia menaiki tangga kantor yayasan yang terlalu sepi dan mencekam itu, memorinya membawanya kembali ke tahun 2009. Perasaannya sama seperti tiga belas tahun lalu.
Tiap langkah yang diambilnya menuju ruangan di ujung lorong itu seolah-olah menariknya kembali ke masa lalu, ketika ia berjalan mencari ayah dan ibunya di lorong rumahnya yang sepi, ketika jasad kedua orangtuanya menyambutnya di ruangan yang berlumuran darah.
Dan Seokjin tahu, bahwa ia sedang melangkah menuju mimpi buruk yang sama kali ini.
PRANGG!!
"Joohyun-ah!!" serunya, tertarik kembali ke realita, setengah berlari menuju ruangan di ujung lorong tempat suara gaduh itu terdengar.
Aneh. Setiap langkahnya terasa berat dan lambat.
Apa yang dilihatnya dalam ruangan itu membuat dunianya berhenti berputar selama beberapa detik.
Bae Joohyun. Gadis kesayangannya. Terkapar di lantai dan tidak bergerak.
Ada genangan darah di bawah badannya.
Amarah menguasai Kim Seokjin secepat api menyulut sumbu lilin. Ia berusaha melawan pria yang telah membuat Joohyun terluka–seorang pria berpakaian serba hitam yang berdiri sambil memegang sebilah pisau berlumuran darah. Tidak banyak yang Seokjin katakan kepada pria itu. Ia hanya menjerit, memaki, menyerangnya sekuat tenaga, berusaha menghindar dari hujaman pisau yang tampak siap merobek kulitnya kapan saja itu.
Ketika Seokjin nyaris habis dalam pitingan pria itu, Kim Namjoon datang menyelamatkannya.
Selanjutnya, ia sama sekali tidak peduli ketika Namjoon mengejar pria itu, bajingan yang melarikan diri begitu dirinya terpojok. Bajingan yang bertanggung jawab atas semua ini.
Hanya satu kata yang terus Seokjin gumamkan dalam bibirnya yang bergetar, seiring dengan langkahnya yang tertatih ketika ia menghampiri Joohyun yang tidak bergeming.
Tidak. Tidak. Tidak.
"Hyun-ah..." bisik Seokjin, lengannya yang dingin dan gemetar ia gunakan untuk membawa Joohyun ke dalam dekapannya, menopang tubuh mungil gadisnya itu dengan lututnya yang bersimpuh.
Terlalu banyak darah.
"Joo? K-kamu bisa mendengarku kan?"
Seokjin mengusap rambut Joohyun dengan lembut dan penuh kehati-hatian, seolah-olah Joohyun adalah benda rapuh yang harus ia jaga, seolah-olah jika ia salah bergerak sedikit saja maka Joohyun akan hancur di tangannya.
Tidak. Seharusnya aku memang menjaganya.
Seharusnya tidak seperti ini.
"Joo..." suaranya tercekat di tenggorokannya, tangannya yang bebas ia gunakan untuk menutup luka di perut gadis yang ia rengkuh sepenuh hati itu. Seokjin berusaha keras untuk melawan, tapi air matanya menemukan jalan sendiri untuk terjun bebas dari kedua pelupuknya.
"Seokjin-ah..." matanya membelalak ketika ia mendengar suara itu. Suara lembut yang selalu berhasil menenangkan kecamuk di dalam hatinya. Suara lembut yang selalu ia dambakan di dalam tidurnya.
Bae Joohyun berusaha, dengan sisa tenaga di tubuhnya, untuk membuka matanya dan menatap Seokjin.
"K-kamu... kamu datang?" pertanyaan lemah dari Joohyun membuat Seokjin tersenyum getir.
"Iya dong, mana mungkin aku nggak datang buat kamu."
Joohyun tersenyum, namun sedetik kemudian, senyumannya berubah menjadi rintihan yang memilukan.
"No no no, jangan banyak gerak dulu ya sayang, kamu..." suaranya tercekat di tenggorokannya ketika Seokjin mencoba untuk menahan Joohyun agar tidak banyak bergerak.
"Anak-anak... s-selamatkan anak-anak..." suara lirih Joohyun membuat air mata Seokjin semakin mengalir dengan deras.
Padahal bukan dia yang terluka, tapi entah kenapa, sekujur badannya terasa sakit ketika melihat Joohyun saat ini.
"Aman, mereka aman Joo. Kamu jangan khawatir." Seokjin berusaha untuk tersenyum, tatapan matanya terkunci pada sepasang manik mata indah milik Joohyun. Sepasang mata yang selalu berhasil membuatnya terlarut dan nyaman.
"Syukurlah..." Joohyun merintih pelan, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Sakit.
Joohyun pasti merasakan sakit yang teramat sangat saat ini, luka tusuk di perutnya yang semakin terasa hangat dan basah membuat Seokjin menyadari hal itu.
"Shh...tahan sebentar lagi ya? Kita—kita ke rumah sakit, oke?"
"M-maafin... Maafin aku..."
"Kamu nggak salah apa-apa, sayang." Seokjin berusaha menjaga agar kalimatnya tetap jelas, di sela-sela isak tangisnya yang semakin menjadi, ia bisikkan kalimat itu sembari mengecup kening Joohyun.
"Kamu nggak salah apa-apa. Aku.... aku harusnya yang minta maaf."
Joohyun tersenyum meringis, rintihan kecil kembali keluar dari mulutnya.
"Aku tahu, aku tahu pasti rasanya sakit. T-tahan sebentar lagi, ya? I've got you now, sweetheart. I promise."
Seokjin berharap Joohyun akan membalas perkataannya dengan kalimat-kalimat celotehannya seperti biasa, dengan santai dan penuh tawa seperti biasa. Tapi ia tahu pasti bahwa hal itu tidak akan terjadi. Joohyun terlihat pucat, semakin pucat, darahnya mulai membasahi tangan Seokjin.
Kim Seokjin tidak mau mengakuinya, tapi rasa takut itu kini menggerogoti setiap inci tubuhnya, seperti sebuah benalu yang akan memakannya hidup-hidup.
Rasa takut yang sama yang ia rasakan tiga belas tahun yang lalu.
Rasa takut akan kematian.
Rasa takut akan ditinggal pergi oleh orang terkasihnya.
Oleh Joohyun, yang kini nyaris meregang nyawa dalam rengkuhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVERAGE [Book 2]
ActionSebuah panti asuhan di pinggiran kota Seoul akan dirobohkan karena sudah terlalu tua dan menghalangi proses pembangunan pusat perbelanjaan. Puluhan anak-anak panti terancam kehilangan rumah mereka. Hanya Kim Seokjin, seorang mastermind ulung dari p...