4.3

63 12 2
                                    

Jeon Jungkook tidak pernah menyukai rumah sakit.

Ia punya kenangan buruk tentang tempat ini. Terakhir kali ia kesini, ibunya meninggal dunia. Jungkook ingat betul bagaimana ia menunggu di lorong rumah sakit yang dingin, sepi, sendirian dan ketakutan. Ia ingat betul bagaimana dokter itu keluar dari ruang operasi, menatapnya dengan mata penuh prihatin, kemudian menepuk pundaknya yang terasa berat bukan main.

Sejak saat itu, ia tidak pernah kembali ke tempat ini lagi apapun keadaannya. Pasalnya, ia selalu merasa bahwa ibunya masih ada di tempat ini, di salah satu ruang operasi, menunggunya untuk kembali.

Oleh karena itu, Jungkook sebenarnya ketakutan setengah mati ketika ia harus menunggu di depan ruang operasi saat ini.

Ia datang terlambat dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Setelah memastikan bahwa anak-anak panti, Ibu Kim, dan pengurus lainnya sudah dievakuasi ke tempat yang lebih aman (Jungkook dan Yeri sengaja menyewa satu hotel untuk tempat mengungsi sementara), ia dan Yeri bergegas menuju rumah sakit, berharap menemukan Joohyun dalam kondisi sehat wal'afiat.

Berharap ia dapat melihat kakaknya itu seperti biasa, tanpa terbaring di meja operasi yang dingin, tanpa terombang-ambing di ambang kematian.

Ia tidak bisa mengenyahkan pemandangan mengerikan itu dari kepalanya sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ia terus membayangkan reaksi Kim Seokjin, pria yang selama ini selalu menjadi panutannya, tampak sangat rapuh dan hancur ketika Joohyun akhirnya dievakuasi oleh petugas medis yang dipanggilnya sendiri untuk datang ke panti.

Ia terus membayangkan bagaimana wajah pria itu menatap Joohyun yang terbaring pucat dan sekarat. Berjuta emosi terukir di wajah Seokjin yang selama ini selalu tampak tegas. Jungkook turut merasakan segala penderitaan yang dirasakan oleh bosnya, pemimpinnya, kakak laki-lakinya itu dalam satu pandangan mata saja.

Perasaan ketakutan, marah, dan dendam yang dirasakannya saat ini pasti turut dirasakan oleh semua orang dalam timnya.

Bukan, bukan tim.

Keluarganya.

Jungkook tidak akan pernah melupakan momen itu, dan ia berani bersumpah, jika sesuatu yang buruk terjadi, ia tidak akan tinggal diam.

Joohyun masih di ruang operasi ketika ia dan Yeri tiba. Seokjin menunggu di dekat pintu, terduduk lemas di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Kaos dan kemeja yang ia kenakan tampak kotor dengan noda darah, rambutnya acak-acakan, tatapannya kosong menatap menerawang.

Namjoon ada di dekatnya, berdiri, terlihat mencoba untuk tetap tenang. Tapi Jungkook tahu pasti bahwa si mantan tukang pukul itu juga sedang ketakutan setengah mati.

"Seokjin oppa!" Yeri berseru, tangisnya sudah pecah bahkan sebelum ia mencapai sosok pria itu kemudian memeluknya. Sejujurnya, Jungkook juga ingin sekali memeluk Seokjin, tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa akan lebih baik kalau ia menjaga sedikit jarak terlebih dahulu.

Kim Seokjin kembali meneteskan air matanya ketika Kim Yeri memeluknya, namun Jungkook tahu, ia mencoba untuk terlihat kuat di depan anggota termuda mereka. Di depan adik perempuan mereka semua.

"Kamu nggak apa-apa, Yer?"

"Aku nggak apa." Yeri menyeka air matanya. "Oppa sendiri?"

Jungkook tahu Seokjin memalsukan senyumnya.

"I'm fine."

"Anak-anak gimana, Jungkook? Aman?" pertanyaan dari Namjoon membuatnya perlu menelan ludahnya, menahan dorongan untuk tidak turut memecahkan tangisnya.

"Aku dan Yeri sudah sewa satu hotel buat mereka semua, ada pak komisaris temannya Seokjin juga yang jaga." jawaban Jungkook tampaknya membuat Namjoon puas.

"Terima kasih ya, kalian." Seokjin menatap Jungkook dan Yeri bergantian, senyumannya tampak tulus namun memilukan.

"Sudah jadi tugasku." Jungkook berusaha untuk terlihat tegar di hadapan rekan-rekan satu timnya. Keluarga keduanya.

"Oppa jangan duduk di lantai begini. Yuk, kita duduk di kursi aja." Kim Yeri dengan sopan dan halus membantu Seokjin untuk duduk di kursi tunggu depan ruang operasi yang kosong melompong. Seokjin tidak menolak, dan Jungkook belakangan menyadari bahwa raut wajah pria itu terlihat sangat kosong.

Seolah-olah ada sebagian dari dirinya yang tiba-tiba hilang begitu saja.

"Sudah berapa lama Joohyun noona ada di dalam?" pertanyaan Jungkook ia tujukan kepada Namjoon, yang terlihat tetap tenang dengan punggung tersandar pada dinding.

Ketika Jungkook memutuskan untuk berdiri di dekat pria yang sering ia panggil tukang pukul itu, ia baru menyadari betapa tegang raut wajah Namjoon sebenarnya.

"Satu jam setengah, kurang atau lebih." jawaban Namjoon membuat perut Jungkook makin terasa mulas. "Kalau kalian berdua nggak datang, mungkin Seokjin bakal duduk di lantai selama itu pula."

Pandangan kedua pria itu teralihkan kembali kepada Kim Seokjin, yang saat ini tengah duduk di kursi tunggu bersama Yeri yang tampak dengan sabar menepuk-nepuk bahunya pelan. Jungkook tahu pasti, bahwa saat ini, Kim Seokjin tidak mungkin mampu menyusun rencana yang tepat untuk langkah mereka selanjutnya.

Layaknya sebuah kapal, tim mereka seolah-olah terombang-ambing di lautan luas dengan ombak yang ganas, kehilangan nahkoda yang selama ini menjadi tumpuan mereka, kehilangan awak kapal yang selama ini menjadi hati mereka.

Tapi ia dan Namjoon sama-sama setuju bahwa mereka tidak boleh terpuruk seperti ini terus. Bagaimanapun juga, mereka perlu melakukan sesuatu.

"Oi, aku ada ide." Jungkook menyikut Namjoon pelan, berusaha berbicara tanpa menarik perhatian Seokjin ataupun Yeri.

"Semoga bukan ide yang berbahaya, kita nggak perlu itu untuk saat ini." balasan Namjoon membuat Jungkook mengulum bibirnya.

"Um, nggak begitu berbahaya sih... Kita cuma perlu duduk di depan laptop aja, kok." keragu-raguan Jungkook membuat Namjoon menatapnya dengan penuh selidik.

"Apa rencanamu?"

"Pertama-tama, kita butuh bantuan temannya Seokjin yang komisaris polisi dan private investigator itu."

LEVERAGE [Book 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang