3.5

59 8 1
                                    

Namjoon

Aku menatap kedua pria di dalam ruangan ini tanpa berkedip sama sekali.

Jungkook menatap layar laptopnya yang dari tadi menyala dengan tatapan kosong, badannya terduduk lunglai di kursinya. Seokjin, di sisi lain, masih melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan yang terarah pada satu titik di atas meja. Aku masih bisa melihat sedikit raut-raut amarah di wajahnya, tapi kurasa, saat ini Seokjin lebih didominasi oleh rasa kecewa dan perasaan bersalah.

Kuhela napasku yang terasa berat. Bahkan secangkir kopi hangat yang kubuat saja tidak cukup untuk mengenyahkan rasa jengkel yang memenuhi dadaku saat ini.

Sengaja kuseret Seokjin dan Jungkook untuk berdiskusi di ruang makan untuk meredam emosi mereka (ibuku selalu melakukan itu kepadaku dulu sekali, ketika aku masih kecil dan emosiku masih belum stabil). Perut kosong dapat membuatmu jadi lebih mudah emosi, maka dari itu aku bersikeras (dan sedikit memaksa) agar setidaknya kedua pria dewasa di hadapanku ini bisa mengisi perut mereka sedikit sebelum aku mulai menceramahi mereka tentang apa yang baru saja terjadi.

"Seokjin hyung, aku nggak mau kamu salah sangka, tapi kami semua di sini benar-benar melihat kamu sebagai sosok pemimpin yang jadi panutan kami semua." aku membuka pembicaraan, membuat Seokjin yang semula tampak kaku di tempatnya itu menghela napasnya berat.

"Dan aku tahu bahwa semua keputusan yang kamu ambil pasti ada alasannya, dengan pertimbangan yang masuk akal pula." kuambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatku. "Tapi sepertinya, kami semua berhak tahu alasanmu dengan lebih mendetail sampai-sampai kamu memutuskan untuk membuat tim ini low-profile."

"Atau lepas tangan dan bersembunyi, lebih tepatnya." timpalan dari Jungkook terdengar sangat pedas di telingaku, namun sepertinya Seokjin sudah tidak punya cukup tenaga untuk membalas sindiran itu.

"Jadi, aku minta kamu untuk menjawab sejujurnya apa yang membuatmu memutuskan hal itu tanpa ada yang ditutup-tutupi, okay?"

Seokjin menghela napasnya lagi, kemudian ia menenggak segelas air yang sedari tadi ada di hadapannya sampai habis. Setelah ia membasahi tenggorokannya, ia baru menjawab pertanyaanku dengan suara yang pelan.

"Aku takut." pria yang selama ini sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri itu menatapku dengan nanar. Aku memang tidak jago-jago amat dalam membaca raut wajah orang (aku ini lebih jago berantem daripada hal-hal begituan, ingat?) tapi untuk kali ini, aku tahu Seokjin mengatakan hal itu dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Apa yang membuatmu takut?"

Kim Seokjin menelan ludahnya sebelum menjawab pertanyaanku.

"Semuanya, Namjoon. Kamu tahu sendiri Park Minho tiba-tiba saja tewas semalam, kan? Apa kalian tahu bagaimana dia meninggal?"

Tampaknya Jungkook mulai tertarik dengan penuturan dari Seokjin, karena saat ini dia mulai mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya untuk menyimak ketua tim kami itu.

"Semalam aku dapat update laporan dari Hyukjae. Hasil autopsi Park Minho sudah keluar, aku juga dikirim beberapa foto yang–" Seokjin tampak mengulum bibirnya selama beberapa detik, membuatku menyadari bahwa aku mungkin tidak bakal suka dengan apa yang akan dia ceritakan selanjutnya.

"Foto yang sebaiknya nggak kalian lihat. Kalian tahu? Si CEO kontraktor itu tewas digorok."

Ya tuhan. Benar kan dugaanku.

"Brengsek, serius?" Jungkook tampak sama terkejutnya denganku, bedanya, dia jauh lebih ekspresif. Kedua bola matanya melebar saat ini, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja Seokjin sampaikan.

LEVERAGE [Book 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang