Seokjin
Aku terbangun dari tempat tidurku dengan napas tersengal-sengal.
Rasanya seperti sehabis berlari marathon sejauh puluhan kilometer, tanpa minum dan tanpa istirahat. Dadaku rasanya sesak bukan main, seolah-olah ada berton-ton pasir memenuhi paru-paruku, sementara keringat dingin terasa basah dan membanjiri pelipisku.
Kalau kalian pernah bermimpi buruk, kalian mungkin mengerti maksudku.
Aku melihat jam yang tertera di layar ponselku. Bagus, masih jam enam pagi. Terlalu pagi untuk bangun tidur, tapi terlalu siang juga untuk kembali tidur. Aku ada acara penting hari ini, dan aku nggak mungkin tidur lagi di kasurku yang basah dan bau keringat atau salah-salah aku bakal kesiangan.
Dengan langkah yang terasa berat, aku berusaha untuk beranjak dari kasurku dan menuju kamar mandi. Kucuci wajahku dengan air dingin supaya aku tetap terjaga, menatap diriku sendiri sebentar di cermin, kemudian memutuskan untuk langsung mencari sesuatu untuk dimakan di dapur dengan tampang kusut khas orang yang baru bangun tidur.
Suasana markas pagi ini tampak normal. Aku bisa melihat Jungkook sudah berkutat di depan layar laptopnya pagi-pagi sekali—entah apa yang si jenius komputer itu lakukan—, kemudian aku bisa mendengar suara musik menggelegar dari arah kamarnya Namjoon diiringi sebuah suara pukulan ringan, tanda bahwa cowok itu sedang memukul-mukul sandsack.
Kakiku berjalan dengan agak cepat menuju dapur, karena aku bisa dengan jelas mencium harum sup rumput laut yang segar dan aku tahu banget siapa yang sedang memasaknya di dapur di waktu sepagi ini.
Dugaanku benar. Aku bisa melihat Joohyun sedang berdiri di depan kompor memunggungiku, sebuah apron terlihat melilit baju tidurnya, rambutnya ia gulung dan ikat secara asal-asalan dengan jepitan rambut.
Tanpa mengeluarkan suara, aku berjalan menghampirinya.
"Selamat pagi." ucapku pelan, tapi sepertinya pita suaraku yang baru saja bangun tidur ini menghasilkan suara yang cukup berat sampai berhasil membuat Joohyun terperanjat kaget.
Cewekku itu hampir melompat di tempatnya berdiri, kemudian, dengan tangan yang masih memegang sutil kayu, ia memelotiku sambil memukul bahuku pelan.
"Bilang-bilang kalau masuk dapur, kek!" gerutunya. Joohyun terlihat seperti anak kucing yang sedang marah-marah kalau seperti ini.
Lucu banget.
"Sori." aku tersenyum, berharap senyumanku tetap terlihat bagus sekalipun tampangku acak-acakan begini.
Joohyun mengerlingkan matanya, namun sebelum ia kembali fokus kepada masakannya, ia menatapku lamat-lamat.
"Kamu baru bangun tidur atau habis berenang? Rambut kamu lepek begitu."
"Oh, ini?" aku menyentuh rambutku sebentar kemudian mengiyakan perkataan Joohyun soal rambut lepekku dalam hati. "Biasa, mimpi berenang."
Sepertinya jawabanku tidak lucu, karena Joohyun sama sekali tidak tertawa mendengarnya. Sebaliknya, ia malah mengerutkan keningnya, memasang ekspresi cemas yang biasa aku lihat di wajahnya yang manis itu.
"Kamu mimpi buruk?"
Mendengarnya bertanya seperti itu, mau tidak mau aku kembali teringat mimpi sialan yang membuatku bangun dengan basah kuyup karena keringat seperti ini.
Mimpi buruk yang berasal dari memori masa laluku sendiri.
Sebuah memori yang bahkan terasa tidak nyata bagiku hingga saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVERAGE [Book 2]
ActionSebuah panti asuhan di pinggiran kota Seoul akan dirobohkan karena sudah terlalu tua dan menghalangi proses pembangunan pusat perbelanjaan. Puluhan anak-anak panti terancam kehilangan rumah mereka. Hanya Kim Seokjin, seorang mastermind ulung dari p...