Joohyun
Aku masih marah sama Seokjin.
Bukannya aku tidak bersyukur karena dia berubah pikiran dan pada akhirnya mau mengambil kasusnya Yeri—kalian jangan salah sangka ya, aku justru bersyukur sekali. Masalahnya, dia sama sekali belum meminta maaf kepadaku sejak perdebatan kami di balkon markas beberapa hari yang lalu. Setelah dia mengumumkan kepada tim yang lain bahwa kami akan membantu nasib anak-anak panti asuhan yang malang itu, dia juga sama sekali tidak meminta maaf kepadaku atau, ya tuhan, sekedar menegurku sedikit juga tidak!
Makanya, wajar saja kan jika aku masih kesal setiap kali dia menampakkan batang hidungnya?
Apa mungkin dia yang ingin aku minta maaf duluan? Hell. Kan, dia duluan yang mulai memancing amarahku hingga akhirnya kami bertengkar. Kalau saja dia tidak bersikap paranoid dari awal dan langsung mengiyakan kasusnya Yeri, kami mungkin tidak akan perang dingin begini.
Masa aku harus minta maaf duluan sih? Bukan aku yang salah, kok!
Ah, sial. Pokoknya, aku tidak akan mengatakan apapun kepadanya sebelum dia meminta maaf kepadaku duluan.
Tapi asal kalian tahu saja, rasanya susah sekali buat tetap marah pada Seokjin. Bukan hanya tingkahnya yang kadang nyeleneh dan membuatku menahan tawaku, cowokku itu kelihatan sedikit lebih tampan daripada biasanya. Aku memang sudah sering melihatnya berpakaian rapi dengan setelan jas atau tuksedo begini, tapi kali ini, rasanya Seokjin jauh lebih tampan berkali-kali lipat.
Ketika aku melihatnya memasuki aula gedung acara gala, aku sempat lupa bernapas selama beberapa detik.
Auranya... ya tuhan, auranya kelihatan gagah banget!
Apalagi ketika dia berjalan dan tersenyum simpul kepada setiap tamu undangan yang dilewatinya—duh, kenapa sih kamu harus ganteng dan menyebalkan di saat yang bersamaan Kim Seokjin?
Ayolah Joohyun, hentikan narasi bucin konyolmu ini dan fokus pada misi!
Aku meneguk champagne di dalam gelasku sampai tidak tersisa, menyimpannya pada nampan yang dibawa salah satu pelayan yang kebetulan lewat di depanku, kemudian bersandar pada pilar sambil mengobservasi suasana di sekitarku. Ada puluhan tamu undangan di ruangan ini, dan sejauh mataku memandang, mereka semua berpenampilan sama—semi formal, sederhana, namun gerak-gerik tubuh mereka sangat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang kaya sungguhan.
Orang-orang kaya yang, berani taruhan deh, punya bisnis yang tidak suci-suci amat.
Seorang pelayan menawarkan segelas champagne lagi kepadaku, dan aku mengambilnya tanpa meliriknya sama sekali. Mataku tertuju pada sosok Park Minho, yang tampak baru saja memasuki ruangan aula. Dilihat dari gerak-geriknya yang selalu tersenyum dan menyapa semua orang, sepertinya si CEO ini sedang gelisah. Matanya tidak berhenti untuk melirik ke sekitar ruangan ini sekalipun ia baru saja menyapa seseorang, tandanya ia sedang mencari-cari—atau mungkin menghindari—seseorang.
"Aku lihat berlian. Boleh aku maju dan sapa dia sekarang?" tanyaku dengan suara pelan, sementara suara Seokjin terdengar langsung menyambut pertanyaanku.
"Ya."
Setelah meneguk sedikit champagne di gelasku, aku berjalan pelan menghampiri Park Minho. Menyadari kehadiranku, raut wajahnya berubah menjadi lebih cerah.
"Nona Bae! Senang sekali bisa bertemu denganmu di sini." sebagai bentuk sopan santun, Park Minho mengecup punggung tanganku setelah kami berjabat tangan.
"Pleasure's all mine. Kelihatannya anda bersemangat sekali hari ini, tuan Park." perkataanku membuat Park Minho tertawa canggung.
"Ah, kurasa aku hanya terlalu banyak minum Red Bull sebelum datang ke sini. Omong-omong, soal tawaran anda kemarin...."
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVERAGE [Book 2]
ActionSebuah panti asuhan di pinggiran kota Seoul akan dirobohkan karena sudah terlalu tua dan menghalangi proses pembangunan pusat perbelanjaan. Puluhan anak-anak panti terancam kehilangan rumah mereka. Hanya Kim Seokjin, seorang mastermind ulung dari p...