Case 5 : Strike, attack!

57 7 2
                                    

Seokjin

Dokter bilang, operasinya berjalan lancar.

Joohyun kehilangan cukup banyak darah, dan untungnya rumah sakit memiliki persediaan cukup banyak kantong labu untuknya. Luka di perutnya tidak terlalu dalam, tapi nyaris mengenai bagian yang cukup vital. Terlambat penanganan sedikit saja, mungkin situasinya akan jauh lebih parah daripada ini.

Dokter bilang, semuanya akan baik-baik saja.

Tapi kenapa sampai sekarang Joohyun belum membuka matanya?

Kenapa aku masih memegangi tangannya yang dingin, menunggu dengan cemas dan berharap ia akan balas menggenggam tanganku dengan tidak kalah eratnya, seperti yang selama ini selalu ia lakukan?

Kenapa matanya masih tertutup rapat, seolah-olah dia tidak mau lagi melihatku?

Kenapa Joohyun yang terbaring di ranjang ini, dengan selang infus yang menancap di tangannya, dengan luka jahitan di badannya?

Kenapa harus dia, Tuhan? Kenapa bukan aku saja?

Berbagai macam pertanyaan 'mengapa' berkecamuk di kepalaku seperti sebuah lagu yang berisik, musik sedih yang memuakkan telinga. Ruang rawat inap intensif yang ditempati Joohyun saat ini cukup luas dan private, tapi entah mengapa, ruangan ini justru terasa sangat sesak bagiku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku duduk diam di samping Joohyun. Aku juga tidak tahu sudah berapa lama aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Mungkin saja aku secara tidak sadar mengucapkan semua kegelisahanku keras-keras, atau mungkin air mataku yang mewakilinya. Entah lah, mataku terasa sangat panas saat ini. Semuanya tampak buram.

Seseorang masuk ke ruangan dengan sebuah ketukan di pintu yang pelan. Aku menoleh dan melihat Hyukjae memasuki ruangan.

"Apa kabarmu?" tanya si komisaris, dan aku tidak bisa mengartikan tatapannya.

"Yah," aku memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab kalimatnya, tapi tidak ada yang bisa kutemukan.

Hyukjae hanya tersenyum miring, wajahnya terlihat sendu.

"Aku minta maaf. Seharusnya kepolisian mengetahui tentang hal ini lebih cepat."

"Nggak perlu." tenggorokanku terasa tercekat. "Kepolisian dan kamu nggak salah, kok."

"Bagaimanapun juga, ini tindakan kriminal, Seokjin. Sudah menjadi tanggung jawabku."

"Sudah jadi tanggung jawabku juga untuk menjaga Joohyun, tapi aku terlalu lambat. Semuanya jadi berantakan gara-gara aku. Semuanya salahku," napasku habis ketika aku menyelesaikan kalimatku, dan tahu-tahu saja pipiku mulai terasa basah lagi. "Semuanya..."

Sial. Aku bahkan tidak peduli aku menangis di depan seorang komisaris polisi saat ini.

Hyukjae tidak menanggapi perkataanku, dan alih-alih mengatakan sesuatu, pria itu kini malah menyimpan tangan kanannya di bahuku.

"Kalau kamu bilang kayak begitu, berarti kamu nggak percaya sama yang namanya takdir. Apa kamu pikir ini yang ingin Joohyun dengar?"

Perkataan itu membuat dadaku terasa pedih, seperti ada seseorang yang tiba-tiba saja meremasnya dengan sekuat tenaga.

"Joohyun juga pasti nggak mau mendengarmu menyalahkan dirimu sendiri. Apa kamu mau mengecewakannya, setelah semua yang terjadi?"

Tidak.

Aku tidak mau mengecewakan wanitaku lagi. Aku tidak boleh membuatnya kecewa lagi.

"Semua yang terjadi hari ini sudah menjadi kehendak yang di atas, Seokjin. Jadi... kumohon, sebagai sahabatmu, berhenti menyalahkan dan membenci dirimu sendiri, ya?"

Tidak ada yang berbicara setelah itu. Aku sibuk mengatur napasku, mencerna setiap perkataan Hyukjae dalam kepala dan hatiku, sementara pria itu menunggu dengan sabar.

Kalau kupikir kembali, Hyukjae juga yang ada di sana sewaktu aku difitnah dan dipecat dengan tidak terhormat dari kepolisian. Dia juga yang membelaku mati-matian, mempertaruhkan jabatannya sendiri, dan memberiku berbagai kalimat penyemangat ketika seluruh duniaku rasanya hancur.

Kini, ketika duniaku nyaris porak poranda lagi, dia kembali datang memberiku nasihat dan tamparan keras di pipiku, yang membuatku kembali kepada realita.

"Terima kasih, Hyuk." ucapku, kini sudah jauh lebih jelas tanpa adanya air mata atau ingus yang menghalangi napasku.

"Sudah jadi kewajibanku." Hyukjae tersenyum, layaknya seorang kakak yang baik, ia menepuk-nepuk pundakku pelan. "Omong-omong, kamu harus makan. Aku sudah pesan makanan, Jungkook lagi ambil di lobi. Ada yang perlu kita semua diskusikan."

*

Kami berkumpul di kamar rawat.

Aku beruntung dokter memperbolehkan kami semua di ruangan ini, kalau tidak, rasanya aku tidak akan sanggup untuk pergi ke suatu tempat dalam waktu yang cukup lama dan meninggalkan Joohyun sendirian di sini.

Aku makan sedikit makanan Jepang yang dipesan Hyukjae karena jujur saja, nafsu makanku nyaris tidak ada sama sekali. Namjoon terlihat makan dengan tenang, padahal aku tahu mungkin dia juga merasakan hal yang sama dengan kami semua saat ini. Yah, paling tidak Jungkook dan Yeri makan dengan lahap. Aku tahu mereka sudah membantu membereskan semua kekacauan ini dengan seluruh kemampuan mereka.

Aku beruntung sekali dikelilingi oleh orang-orang baik ini.

"Seperti yang kita tahu, Kim Wooyoung saat ini menghilang entah ke mana." Jungkook membuka pembicaraan, suaranya pelan dan nyaris berbisik. Ia memanfaatkan layar laptopnya untuk presentasi, membuatku memerlukan sedikit usaha ekstra untuk membaca tulisan di layar itu.

"Statusnya buron, setelah apa yang polisi temukan di basement panti asuhannya." timpal Hyukjae.

"Benar. Bisa dibilang, saat ini posisinya sangat terancam. Kalau dia yang merencanakan semuanya, mana mungkin dia bisa sebodoh itu membuat dirinya sendiri merugi."

"Ada seseorang yang sengaja membuatnya terpojok." aku melanjutkan penjelasan Jungkook, dan seperti biasa, semua mata tertuju kepadaku ketika aku berbicara.

"Pertanyaannya, siapa?"

"Nah, itu pertanyaan yang sulit. Kita nggak punya cukup waktu untuk asal tuduh, apa lagi saat ini ada banyak hal nggak terduga yang terjadi berurutan."

Ketika Namjoon mengatakan itu, tanganku dengan refleks menggenggam tangan Joohyun yang masih tertidur.

Namjoon benar. Ada terlalu banyak collateral damage kali ini. Joohyun menjadi salah satunya.

"Jadi, satu-satunya solusi paling masuk akal adalah dengan sengaja memancing dia keluar dari persembunyiannya sendiri. Buat dia mengakui apa rencananya dan siapa yang mungkin ingin menjatuhkannya." Jungkook kemudian mengetikkan beberapa kata di keyboard laptopnya, lalu sebuah rekaman CCTV muncul di layar.

"Dengan catatan, ini harus dilakukan oleh satu-satunya orang yang tidak terlibat, satu-satunya orang yang mungkin bisa dia percaya, orang yang pernah menawarkan kerja sama dengannya..."

Jantungku memompa darah lebih cepat dari biasanya ketika Jungkook mengatakan itu.

"Aku yang harus memancingnya keluar dan mengakui semuanya, kan?"

Pertanyaanku membuat baik Jungkook, Namjoon, Hyukjae dan bahkan Yeri menganggukkan kepalanya.

"Tapi perlu kamu tahu, ini bisa jadi beresiko banget. Siapa tahu Oh Sehun masih berkeliaran di luar dan mengincarmu juga, kamu harus ekstra hati-hati." ini Hyukjae yang berbicara, dan kini membayangkan nama si bajingan keparat yang sudah membuat Joohyun terluka membuatku mulai merasa murka.

Aku bersumpah, demi seluruh lautan di muka bumi ini, aku tidak akan mengampuninya karena sudah membuat Joohyun-ku menderita.

"Oh, nggak masalah. Aku justru menantikannya."

LEVERAGE [Book 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang