"Mas, Aku mau menikah!" Ujar Shaffiya membuat Kedua lelaki itu menatap Shaffiya tak percaya. Mereka malah melongo mendengar perkataan Shaffiya yang begitu tiba-tiba itu.
Aldwin jadi teringat obrolannya dengan Shaffiya saat diperjalanan tadi. jadi ini tujuan perempuan itu menanyakan tentang menikah dengan orang tak dikenal.
"Menikah dengan siapa dek? kok kamu tiba-tiba gini ngomongnya." Tanya Mas Hanan pada adiknya itu. Shaffiya pun menggeleng pelan. Dia pun tak tahu harus menikah dengan siapa.
"Aku juga gak tahu mas. Aku mau kok dinikahkan dengan siapa aja. Mas punya kenalan kan? Aku bersedia kok menikah dengan lelaki manapun asal dia baik akhlaknya dan tentunya Mas Hanan dan Ayah setuju." Jelas Shaffiya membuat mereka semakin heran. Mas Hanan dan Aldwin saling tatap karena mereka sama-sama bingung dengan situasi ini.
"Dek, coba deh jelasin kenapa kamu tiba-tiba pengen nikah gini. Jujur Mas bingung kalo gini." Ujar Mas Hanan pada adiknya itu.
Shaffiya pun akhirnya menjelaskan segala kegundahan di hatinya itu. dia menceritakan kepada kakaknya itu kalau dia merasa bahwa Ibunya terlalu terbebani dengan pikiran karena dirinya belum menikah diusianya saat ini. Hanan pun mengangguk mengerti dengan penjelasan adiknya itu.
"Dek, belum tentu loh ibu memikirkan hal itu. mungkin ada hal lain yang ibu pikirkan." Ujar Mas Hanan berusaha untuk berpikir positif.
"Apalagi Mas? Mas dan Maisha sudah berkeluarga dan memiliki anak. Ibu juga tak ada masalah dengan teman ataupun yang lainnya. Kalau masalah hutang tentu itu tidak mungkin karena ibu tak ada hutang apapun. Hanya aku disini yang bermasalah. Diusia dua puluh tujuh tahun dan belum menikah. Apalagi aku ini anak perempuan. Sudah sangat jelas kan Mas kalau aku yang bermasalah disini." Jelas Shaffiya menggebu. Mas Hanan menghela napasnya pelan.
"Menikah diumur berapapun itu bukan masalah Shaf. Menikah itu gak harus cepat. Kalau belum ada jodohnya ya harus sabar menunggu. Menikah itu bukan masalah cepat atau lambatnya tapi harus di waktu yang tepat. Jangan sampai kamu gegabah dan salah pilih orang, karena menikah itu sekali seumur hidup." Jelas Hanan pada adiknya. Dia tak ingin Shaffiya gegabah dalam memutuskan sesuatu.
"Tapi aku sudah yakin mas. Siapapun lelaki itu asalkan dia baik agamanya dan punya pekerjaan yang jelas aku mau menikah dengannya." Ujar Shaffiya dengan mantap.
"Baiklah kalau kamu sudah yakin. Mas akan mendukung apapun itu asalkan kamu tidak terbebani juga." Ujar Mas Hanan yang dijawab anggukan mengerti oleh Shaffiya.
Shaffiya berharap keputusan ini adalah yang terbaik untuknya. Lagipula dia yakin jika pilihan kakaknya itu adalah yang terbaik untuknya. Tak mungkin seorang kakak akan memilihkan lelaki yang tidak baik untuk sang adik.
Perempuan itupun kembali duduk disamping sang ibu. Dia menggenggam tangan ibunya sembari mengusapnya lembut. Shaffiya berharap setelah ini ibunya bisa segera sadar. Beliau pasti senang mendengar aku akan menikah nantinya. Beliau pasti tak akan terbebani oleh apapun lagi.
Mata Shaffiya pun berangsur memberat. Dia mulai memejamkan matanya dan tertidur disana. Dia kelelahan karena seharian belum istirahat ditambah dengan kejadian ini dia benar-benar kelelahan.
Shaffiya terbangun dengan posisi terbaring di sofa rumah sakit dan diselimuti oleh jaket Mas Hanan. Sudah pasti kakaknya lah yang membaringkan dia disana,sebab seingatnya dia tidur di samping ibunya kemarin. Perempuan itupun terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia melihat di sekitarnya sudah tidak ada orang lagi. Mungkin saja kedua lelaki itu sedang di masjid untuk shalat subuh sekarang.
Shaffiya pun bangun dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Dia menggelar sajadah tak jauh dari tempat ibunya tertidur dan melaksanakan shalat disana. Shaffiya berdoa dengan khusyu dan meminta kesembuhan untuk sang ibu.
"Shaffiya...Sini nak." Panggil bu Sarah lirih. Shaffiya pun langasung menghampiri sang ibu dengan haru. Dia senang bisa melihat ibunya yang sudah bisa tersenyum kearahnya itu.
"Shaffiya disini bu, ibu butuh apa? Ibu mau minum? Makan?" Tanya Shaffiya beruntun membuat bu Sarah tertawa kecil. putrinya itu sangat khawatir dengan keadaannya.
"Ibu mau shalat nak. Tolong ambilkan mukenah ibu." Ujar Bu Sarah yang langsung diajwab anggukan mengerti oleh Shaffiya. Dia pun segera mengambilkan mukenah untuk sang ibu. Sembari menunggu mukenahnya siap bu Sarah pun bertayamum terlebih dahulu.
Shaffiya memakaikan mukenah untuk sang ibu dan menunggui beliau shalat dengan sabar. Shaffiya sungguh terharu dengan ibunya itu, walaupun dalam keadaan sakit beliau tetap taat menjalankan ibadah. Beliau tidak pernah sedikitpun meninggalkan shalatnya.
"Ibu sudah membaik? Aku panggilkan dokter ya bu." Ujar Shaffiya pada sang ibu namun bu Sarah melarangnya.
"Nanti saja nak. Ibu sudah merasa membaik kok." Ujar bu Sarah sembari tersenyum untuk menenangkan putrinya yang masih khawatir dengan keadaannya itu. Shaffiya pun mengangguk patuh.
"Maafkan Shaffiya bu karena kurang punya waktu untuk ibu. Besok lagi Shaffiya akan pulang tepat waktu jadi ibu gak akan kesepian lagi." Ujar Shaffiya dengan nada penuh penyesalan. Bu Sarah menggeleng pelan sembari mengusap lembut kepala putrinya itu.
"Tidak perlu minta maaf nak. Ini memang sudah takdirnya ibu sakit. Kamu tidak salah apa-apa kok." Ujar bu Sarah menenangkan putrinya itu. dia tak tega jika Shaffiya menyalahkan dirinya sendiri seperti itu.
Tak lama mas Hanan dan Aldwin datang dengan masih menggunakan baju koko dan sarungnya. Mereka terlihat tersenyum senang ketika melihat bu Sarah sudah sadarkan diri. mereka langsung mendekat kearah sang ibu.
"Ibu, alhamdulillah sudah sadar." Ujar Hanan senang. Dia memeluk ibunya saking rasa senangnya melihat sang ibu yang sudah sadar itu.
"Iya nak, maaf ya jadi merepotkan kalian." Ujar Bu Sarah pada anak-anaknya itu. Mereka pun langsung menggeleng tegas.
"Ibu nih apa sih. Yang namanya penyakit gak ada yang minta, lagipula sudah kewajiban kita sebagai anak merawat ibu." Ujar Mas Hanan dengan bijaksananya.
"Ibu mau makan apa? biar nanti Aldwin belikan sekalian menjemput Maisha kesini." Tawar Aldwin pada ibu mertuanya.
"Suruh Maisha membawakan bubur buatannya ya. Ibu sudah lama tak makan masakannya." Ujar bu Sarah sembari tersenyum simpul. Aldwin pun mengangguk mengerti lalu keluar untuk menelpon istrinya dan menyampaikan pesan dari ibunya itu.
"Shaf, kamu udah izin belum sama bos kamu?" Tanya Mas Hanan pada adiknya itu. Shaffiya menepuk dahinya pelan. Dia lupa kalau belum izin pada Izzam untuk tidak masuk kerja hari ini.
"Kamu kerja aja Shaf. Ibu gak papa kok disini. nanti biar ditemani Hanan atau Maisha." Ujar Bu Sarah pada putrinya dengan lembut. Namun tentu saja Shaffiya tak setuju dengan hal itu. dia akan tetap menjaga ibunya disana.
"Nggak bu, Shaffiya mau disini jagain ibu. Izinkan Shaffiya berbakti pada ibu ya, untuk menebus kesalahan-kesalahan Shaffiya di masa lalu." Ujar Shaffiya dengan nada memohon. Matanya sudah berkaca-kaca menahan air mata.
"Baiklah Shaf. Ibu izinkan kok. Tapi perlu kamu ingat ya, Ibu itu sudah menutup segala kenangan masa lalu yang pahit itu. Ibu sudah memaafkan segala kesalahanmu. Ibu sudah melupakan kejadian buruk itu." Ujar Bu Sarah mencoba memberikan pengertian pada putrinya.
"Makasih ya bu. Makasih selalu mau menerimaku kembali." Ujar Shaffiya tulus. Bu Sarah tersenyum simpul dan memeluk putrinya erat.
Seburuk dan sejahat apapun seorang anak, dia akan tetap sama dimata seorang ibu. Mereka tetaplah gadis-gadis kecil mereka yang dilahirkan dan dibesarkan dengan sejuta kasih sayang. Ibu tak pernah menganggap putri mereka dengan pandangan yang buruk. Mereka selalu memandang anaknya dengan tatapan penuh kasih sayang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAFFIYA ( END ✅️ )
عاطفيةMasa lalu yang kelam memang terkadang sulit untuk dilupakan dan akan terus terkenang sampai kapanpun. Shaffiya, seorang perempuan dengan masa lalu buruknya berusaha untuk melupakan dan merubah hidupnya sebaik mungkin. Ketakutan dalam dirinya tentang...