WELCOME ヽ(●'ε`●)ノ
Call me Ell
Jangan lupa vote & komen!
Follow _Hazeell
🩶 HAPPY READING 🩶
Kisah yang akan tersusun dalam bentuk bait aksara ini, berawal dari kematian.
"Kalian tidak berhak menghakimi siapa pun dalam cerita ini. Karena semua yang terjadi, pasti ada alasannya tersendiri." _Hazeell
___________________________
Terluka tidak harus tentang mendapatkan pukulan dan makian. Bagaimana jika satu-satunya orang yang menyayangi kita pergi lebih dulu, untuk selamanya?
"Semuanya, hancur berantakan." Jemari tangannya mengepal menahan sakit yang menyiksa, matanya yang selalu terlihat putih bersih, kini memerah karena terus menangis.
Di malam hari yang dingin, dengan pencahayaan sinar rembulan yang meremang, gadis dengan rambut tergerai berwarna hitam pekat itu terlihat cantik, meskipun penampilannya jauh dari kata rapih, yang terlihat hanyalah rapuh dan lusuh.
Sambaran petir yang terdengar bersahutan di langit malam itu menyamarkan teriakannya, teriakan untuk menghilangkan rasa sesak, penat dan semua sakit yang ia terima. Namun, rasa sakitnya malah semakin memuncak hebat. Bahkan, air matanya sudah digantikan dengan tangisan alam. Ia menangis tanpa air mata.
"KENAPA HARUS NENEK YANG PERGI LEBIH DULU?!" jerit perempuan itu di tempat peristirahatan terakhir neneknya. Saat ini, ia sudah terduduk lemas di samping gundukan tanah yang masih basah.
"KENAPA HARUS TINGGALIN AKU SENDIRIAN? GAK ADA YANG SAYANG SAMA AKU LAGI!" teriaknya semakin keras. Ia membiarkan air hujan bebas membasahi seluruh tubuhnya. Pakaian yang ia kenakan sudah tidak bisa melindunginya dari tangisan alam. Seolah-olah, alam pun ingin ikut menyiksanya.
"Nek, aku gak punya rumah lagi, kenapa harus nenek? Kenapa gak aku aja?" Suaranya melemah, seiring redanya hujan malam itu yang kini menjadi gerimis.
Tangis, gerimis, di Kamis malam penuh siksaan.
"Nek, aku mau nyerah, hidup pun udah gak ada tujuan lagi." Tatapan matanya kosong ke depan, pakaiannya kotor dan seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Ia benar-benar tidak peduli dengan dirinya.
"Ambil saja aku, Tuhan," ucapnya dengan pasrah dan lelah.
"Aku, hilang arah." Tangan kanannya mengambil batu yang berada di sekitarnya. Tanpa takut, ia menggoreskan bagian tajam batu itu pada lengan kiri.
"Stop!" perintah seorang laki-laki yang baru saja datang. Laki-laki itu memakai pakaian serba hitam, memakai masker dan topi sehingga wajahnya tidak terlihat sama-sekali. Tidak lupa dengan payung yang melindunginya dari hujan.
Gadis yang menangis tadi menghempaskan cekalan laki-laki itu. Tatapannya tertuju pada batu yang terlempar jauh, kemudian menatap netra laki-laki yang berada di depannya dengan sinis.
"Siapa kamu?" Gadis yang sudah berdiri itu bertanya tanpa ekspresi di wajahnya.
Namun, laki-laki itu tidak menjawab, ia menyodorkan payung yang digenggamnya, membuat tangisan alam berhenti membasahi tubuh mereka beberapa saat.
"Maaf, tidak perlu," tolak gadis itu, seolah mengerti bahwa laki-laki yang berada di depannya ingin memberikannya sebuah payung.
Laki-laki itu tidak memaksa sama-sekali, ia menarik kembali sodoran payungnya dengan ringan. "Gue, Ara. Pernah kehilangan dua orang yang gue sayangi dalam satu waktu," ucapnya tanpa memperlihatkan wajahnya. Dari suara dan posturnya dia seperti laki-laki dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Without Light [TERBIT]
Teen FictionKematian dan kisah cinta yang tersimpan selama 16 tahun menjadi latar belakang cerita ini. Melanjutkan hidup dalam semangat ucapan mayat adalah caranya untuk tetap bertahan. Pertemuan pertamanya di tempat yang nyeleneh membuat Askara Rakesh Abivad...