20. Saatnya tau

43 21 0
                                    

HAPPY READING
.

Cahaya senja yang hangat memberikan nuansa romantis, sementara pohon-pohon berdaun hijau menambah keindahan suasana dengan memberikan hembusan angin lembut.

Suara mesin sepeda motor berbunyi, menandakan Askara dan Syleene siap memulai perjalanan menerobos suasana damai.

Kendaraan lain saling salip menyalip, seolah mereka memiliki urusan yang harus cepat di selesaikan. Sedangkan Askara melajukan motornya dengan santai.

"Gue boleh tanya sesuatu?" tanya Askara memulai pembicaraan.

"Tanya apa?"

"Soal teror, Lo udah tau orangnya?" Disela-sela fokusnya mengendarai motor, Askara melihat Syleene sekilas lewat kaca spion sebelah kiri yang selalu di arahkan untuk melihat gadis di belakangnya.

"Aku gatau, tapi setelah Mama meninggal, dia gak ada lagi."

"Apa Jangan-jangan, yang nabrak mama Lo itu sama dengan orang yang neror?" tanya Askara mencoba menebak.

Syleene mengedikkan bahunya, kedua matanya memperhatikan suasana sekitar yang damai. "Soal kecelakaan mama, semuanya di urus sama ayahnya Kak Namja, karena aku gatau harus gimana, aku juga gatau mau minta bantuan siapa, untungnya keluarga Kak Namja nawarin bantuan. Dan, aku belum menanyakan perkembangannya karena kemarin-kemarin sibuk latihan OSN."

Askara mengangguk mendengar penjelasan Syleene yang panjang itu. "Terlalu banyak yang mau gue tanyain, gue takut Lo kenapa-kenapa, mau kita bicarakan ini aja sama beliau?"

"Soal apa?" tanya Syleene bingung.

"Soal kematian dengan teror itu, gue yakin semuanya berhubungan. Boleh ceritain semuanya?" ucap Askara dengan hati-hati.

Sepeda motor terus melaju dengan lancar, melewati jalan-jalan yang lurus maupun berkelok-kelok.

Setiap kilometer dan putaran roda terasa seperti petualangan baru, memberikan kesempatan untuk menikmati keindahan alam dan kehidupan sekitar.

Meskipun sebenarnya, isi kepala selalu dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak tahu jawabannya.

Syleene diam sejenak, netranya itu menerawang mengingat hal janggal yang selalu menghampirinya. "Teror pertama kali itu, waktu aku pulang di antar Kak Habibie, waktu dia udah pulang, aku masuk gang sendiri, terus ada yang lempar batu, tapi di bungkus kain, itu kena kaki aku lumayan sakit."

"Bentar-bentar, nanti ceritanya di rumah gue, kita harus ceritain semuanya sama om Deon."

"Beliau siapa?" tanya Syleene.

"Om Deon itu ayahnya Namja, beliau udah biasa nanganin kasus."

Syleene mengangguk, rambutnya yang tergerai itu berhembus mengikuti arah angin yang tenang.

Setelah beberapa kilometer perjalanan, Sepeda motor melewati jalan perumahan yang sudah tidak asing bagi Askara, suasananya sangat damai, bersih dan nyaman.

"Suasananya beda banget sama jalan ke rumah aku," ujar Syleene membuat Askara menoleh sekilas.

"Ya beda dong, kan ini mau ke rumah gue," jawab Askara.

"Maksud aku, suasananya lebih damai, beda sama gang sempit ke rumah aku."

Askara tidak menjawab Ucapan Syleene, ia memasukkan sepeda motor ke dalam garasi rumah, motor yang selalu menjadi saksi bisu dari petualangan mereka.

Sedangkan di sisi lain, Syleene mengamati setiap sudut rumah Askara, terdiri dari dua lantai, dengan atap yang tajam dan dinding-dinding yang terbuat dari bahan-bahan modern. Tembok bercat putih itu membuat rumah terlihat semakin mewah.

Moon Without Light [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang