26. Rangkulan

64 21 6
                                    

Antonio, pria itu seperti seorang penjaga gerbang sekolah, menjaga pintu keluar sebagai penjaga rahasianya sendiri. Ia menunggu dengan tekad bulat dan keteguhan hati untuk menerima anaknya dari perjalanan panjang menuju kehidupan baru.

Namun, Antonio tidak tahu, apakah Syleene akan memaafkan kebodohannya.

Seperti seorang pelaut yang mencari harapan di horizon, Antonio mencari wajah Syleene di antara kawanan murid yang berlalu lalang.

Setiap wajah yang lewat adalah sebuah cermin yang tidak memantulkan apa yang dia cari. Namun, Antonio tetap setia menunggu di gerbang sana, sampai batang hidung yang di cari muncul dengan sendiri.

"Syleene," panggil Antonio dengan sedikit keraguan.

Syleene tersenyum sekilas, ia merasa canggung. "Iya?"

"Boleh kita bicara? Maaf, kemarin saya pergi begitu saja, hari ini saya ingin menjelaskan semuanya."

Syleene diam sejenak, ada setitik bahagia di hatinya, namun ia juga takut, takut jika salah memilih jalan. Setelah berdebat dengan isi hatinya sendiri, akhirnya Syleene mengangguk. "Iya, boleh."

"Kamu bisa antar saya ke tempat peristirahatan terakhir Medina?" Antonio menatap Syleene yang menunduk sedari tadi.

"Iya," jawab Syleene singkat.

"Yasudah, masuk mobil saya, biar kamu saya antar untuk berganti pakaian, setelah itu kita pergi," ujar Antonio menjelaskan.

"Biar aku kasih alamatnya saja, aku akan pulang sendiri," saran Syleene.

Antonio menggeleng dengan cepat. "Tidak, saya ingin pergi bersama kamu, kamu mau tau kan alasan saya ninggalin kalian?"

Syleene mengangguk.

♡♡♡

Antonio yang memakai pakaian formal memasuki taman ketenangan ditemani oleh Syleene, suasana pemakaman di sore hari terasa sejuk, angin sepoi-sepoi berhembus dengan tenang, juga indahnya senja yang memanjakan netra.

Mereka berjalan dengan langkah hati-hati dan penuh rasa hormat. Wajah keduanya terlihat serius, sedih dan canggung, namun penuh dengan keikhlasan.

Dengan sorot mata yang penuh dengan kerinduan, Antonio duduk di depan makam dengan nisan bertuliskan Medina, tempat itu dipenuhi bunga-bunga yang masih terlihat segar.

"Tempatnya sangat bersih, kamu yang merawatnya?" tanya Antonio, ia melirik Syleene yang berada di sampingnya.

Syleene mengangguk. "Iya, setiap libur sekolah, aku selalu menyempatkan waktu ke sini."

"Terimakasih," ucap Antonio.

Syleene tersenyum. "Ini udah tugas aku."

Antonio mengalihkan perhatiannya.  "Hai, Medina, apa kabar? Saya harap, kamu tidak membenci saya." Antonio mulai meloloskan kata demi kata dari bibirnya dengan suara yang lembut dan penuh hati-hati.

Antonio menceritakan segala hal yang terjadi dalam hidupnya, suka dan duka, setelah mereka dipisah dengan paksa. "Terimakasih, atas semua harsa dan sendu, atas semua rasa cinta dalam dekapmu yang tak akan pernah hilang dalam ingatanku. Saya, menyayangi kamu, Medina."

Tangisnya pecah saat dia mengingat kenangan-kenangan indah bersama Medina dulu, kenangan yang telah terkubur 16 tahun lamanya.

Suasananya hening beberapa saat, hanya terdengar hembusan angin sore itu.

"Maaf, aku gak bisa lama-lama di sini," ucap Syleene memecah keheningan.

Antonio melirik Syleene. "Kamu ada urusan?"

Moon Without Light [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang