Seperti sebuah puisi yang tak terbaca, rumah itu menunggu seseorang untuk membacanya kembali, mencari kehangatan dan kebahagiaan. Namun, hingga saat ini, di rumah itu hanya ada Syleene seorang diri, ruangannya sangat terlihat berantakan dan kotor.
Syleene menunggu dengan penuh harap, harapan bahwa suatu hari nanti akan ada lagi yang menghuni ruang sederhana itu dengan membawa kebahagiaan.
Namun, semakin hari rasanya membuat Syleene kehabisan semangat untuk menjalani hidup.
"Dea ... yang suka ganggu aku." Jemarinya memutar-mutar pensil.
"Dillan ... Deigo ...." Syleene terus menggoreskan tinta pada kertas putih di hadapannya, ia berusaha mengingat orang-orang yang dicurigainya, orang yang selalu mengganggunya dengan ancaman-ancaman yang menakutkan.
Dia selalu memberi kode dengan inisial D.
"Damian ... bahkan, aku gak kenal dia siapa." Wajah cantiknya itu sudah sembap karena terus menangis, ia merasa takut sendirian. Hanya angin sore yang merangkulnya.
"Bahkan, Om Deon yang sudah membantu masalah kematian mama, aku ... aku gak percaya siapapun."
Syleene menjambak rambutnya sendiri dengan kasar, ia terduduk lemas di pojok rumahnya. "SIAPA YANG HARUS AKU CURIGAI? SIAPA DALANGNYA? ADA MASALAH APA SAMA AKU?" pekik Syleene mengeluarkan isi kepalanya.
Isak tangis terdengar menyakitkan sore itu, di tengah-tengah suasana yang sunyi dengan pemandangan yang tidak mengenakkan
Syleene merasa mual melihat darah mengotori tembok rumah yang sederhana, bau amis menguar di sekitarnya.
Jemarinya sudah mengepal meremas pecahan kaca, sakit sudah tidak bisa dirasakan. Rasanya seperti mati.
"Jangan buat Askara senang." Syleene membaca tulisan yang tercetak di tembok rumahnya. "KENAPA!" teriak Syleene dengan sisa suara dan tenaga yang dimiliki.
Tok tok tok
Syleene tersentak saat seseorang mengetok pintu rumahnya, netranya menyorot setiap penjuru rumah yang sangat berantakan.
TOK TOK TOK
Suaranya semakin keras, membuat Syleene berdecak, namun ia tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya.
"Syleene ...."
Setelah orang di luar sana memanggil, baru Syleene tahu. "Kak Aska," gumamnya.
Syleene diam. Ia malas menemui, tapi mau bersembunyi kemana pun, pada akhirnya ia tidak akan bisa menghindar.
Sedangkan di luar sana, Askara panik melihat pekarangan sempit rumah Syleene yang sangat berantakan. "Syl, ini ada apa?"
Askara membuka pintu rumah Syleene dengan perasaan tak karuan, pemandangan pertama yang ia lihat adalah senyuman Syleene, dengan mata sembap dan darah sudah mengotori tangannya.
"Lo kenapa?" tanya Askara dengan panik, ia segera menghampiri Syleene.
"Maaf," gumam Syleene, ia menyunggingkan senyum seolah-olah tidak ada masalah dalam hidupnya.
"Kita ke rumah sakit ya," ajak Askara.
Syleene menggeleng. "Enggak, aku ... gapapa," tolaknya.
"Gak papa lo bilang? Ini, siapa yang lukai lo?" cecar Askara.
"Sendiri," jawab Syleene dengan tegas.
Netra Syleene melihat pria dewasa yang mengikuti Askara. Antonio dengan raut wajah kebingungan itu terus memperhatikan setiap penjuru rumah Syleene.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Without Light [TERBIT]
Teen FictionKematian dan kisah cinta yang tersimpan selama 16 tahun menjadi latar belakang cerita ini. Melanjutkan hidup dalam semangat ucapan mayat adalah caranya untuk tetap bertahan. Pertemuan pertamanya di tempat yang nyeleneh membuat Askara Rakesh Abivad...